BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan
selain untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia, juga merupakan cerminan dari
adanya ketergantungan individu terhadap individu lain dan adanya naluri untuk
meneruskan keturunan (Andriaanty, 2013).
Organisme
berusaha untuk mempunyai keturunan dengan melakukan reproduksi sehingga
kelangsungan hidup jenis organisme dapat dipertahankan (KawaguchiI, 2012).
Masalah
reproduksi biasanya sering sekali terdengar dan dibahas oleh masyarakat, dalam
dunia pendidikan tingkat SD, SlTP, SLTA, ataupun di Perguruan Tinggi FKIP dan
MIPA Biologi, dunia kesehatan, bidang kedokteran juga membahas reproduksi
(Christy, 2011).
Sistem
reproduksi tidak bertujuan untuk survival individu, tetapi diperlukan untuk
survival species dan berdampak pada kehidupan seseorang. Hanya melalui sistem
reproduksi, blueprint genetik kompleks setiap spesies dapat bertahan di dunia
ini. Meskipun sistem reproduksi tidak berkontribusi pada homeostasis dan tidak
penting untuk bertahan hidup seseorang seperti halnya sistem kardiovaskuler,
tetapi ia berperan penting dalam kehidupan seseorang.
Kemampuan
reproduksi tergantung pada hubungan antara hypothalamus, hipofisis bagian
anterior, organ reproduksi, dan sel target hormon. Sistem reproduksi meliputi
kelenjar (gonad) dan saluran reproduksi. Organ reproduksi primer atau gonad
terdiri dari sepasang testes pada pria dan sepasang ovarium pada wanita. Gonad
yang matur berfungsi menghasilkan gamet (gametogenesis) dan menghasilkan hormon
seks, khususnya testosteron pada pria dan estrogen & progesteron pada
wanita. Setelah gamet diproduksi oleh gonad, ia akan melalui saluran reproduksi
(sistem duktus).
Gametogenesis
merupakan proses yang terjadi dengan cara meiosis, yaitu pembelahan sel yang
menghasilkan setengah set informasi genetik (haploid) yang selanjutnya setelah
fertilisasi akan terbentuk individu baru dengan 46 kromosom (diploid). Selama
fertilisasi terjadi kombinasi genetik sehingga individu yang terbentuk tidaklah
sama (Website Staff UI dalam Modul reproduksi).
Menurut
Sadler (1994) dalam Repository USU fertilisasi adalah proses penyatuan gamet
pria dan wanita, yang terjadi di daerah ampulla tuba fallopi. Spermatozoa
bergerak dengan cepat dari vagina ke rahim dan selanjutnya masuk kedalam
saluran telur.
Mengingat fertilisasi merupakan peristiwa yang
mengawali pristiwa terjadinya reproduksi yang bertujuan mempertahankan
keturunan, maka penulis tertarik untuk menulis makalah Embriologi dengan judul
“Konsep-Konsep Fertilisasi”
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanan proses terjadi ovulasi?
2. Apa
saja syarat-syarat, jenis-jenis dan tahapan fertilisasi pada manusia?
3. Bagaimana
proses penyibakan (claveage)?
4. Bagaimana
proses implantasi?
5. Bagaimana
penentukan jenis kelamin?
C.
Tujuan
1. Dapat
mengetahui proses terjadi ovulasi
2. Dapat
mengtahui dan memahami syarat-syarat, jenis-jenis dan tahapan fertilisasi pada
manusia
3. Dapat
menjelaskan proses penyibakan (claveage)
4. Dapat
menjelaskan proses implantasi
5. Dapat
mengetahui cara penentukan jenis kelamin
D.
Manfaat
1. Mengetahui,
memahami dan mampu menjelaskan konsep-konsep fertilisasi, yaitu proses ovulasi,
proses fertilisasi, proses penyibakan, proses implantasi dan penentuan jenis
kelamin
2. Menambah
wawasan pengetahuan mengenai reproduksi manusia khususnya konsep-konsep
fertilasasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
KONSEP-KONSEP
DASAR FERTILISASI
A.
Proses
terjadinya Ovulasi
Saat
ovulasi kadang-kadang menetukan masa subur (masa fertil) dari seorang wanita,
karena kehamilan hanya mungkin kalau
coitus terjadi sekitar saat ovulasi.
Ovulasi
terjadi ±14 hari sebelum haid yang akan
datang. kita menentukaan saat ovulasi itu bukan pada saat haid yang telah lalu
tapi dari haid yang akan datang karena ternyata bahwa dri siklus itu stadium
sekresi yang tetap karena corpus luteum mempunyai umur yang tertentu ± 8 hari.
Sebaliknya
stadium proliferasi berbeda panjangnya, maka pada wanita dengan siklus 28 hari
ovulasi terjadi pada hari ke-14 dari siklus sedangkan pada wanita dengan siklus
35 hari ovulasi terjadi hari ke-21 dari siklus (Sastrawinata, 1983).
Menurut
Betharia, Ovulasi terdiri atas tiga fase yaitu
1.
Fase
pra ovulasi
Oosit
dalam oogonium berada di dalam suatu folikel telur. Folikel juga mengalami
perubahan seiring dengan perubahan oosit primer menjadi oosit sekunder hingga
terjadi ovulasi. Sebelumnya, Hipotalamus mengeluarkan hormon gonadotropin yang
merangsang hipofisis untuk mengeluarkan FSH. Adanya FSH merangsang pembentukan
folikel primer di dalam ovarium yang mengelilingi satu oosit primer. Folikel
primer dan oosit primer akan tumbuh sampai hari ke-14 hingga folikel menjadi
matang atau disebut folikel de Graaf dengan ovum di dalamnya. Selama
pertumbuhannya, folikel juga melepaskan hormon estrogen. Adanya estrogen
menyebabkan pembentukan kembali (proliferasi) sel-sel penyusun dinding dalam
uterus dan endometrium. Karena itulah fase pra-ovulasi juga di sebut sebagai
fase poliferasi.
2.
Fase
ovulasi
Ovulasi
pada wanita terjadi pada hari ke 14 dari siklus normal seksual 28 hari. Sesaat
sebelum ovulasi, dinding luar folikel yang menonjol akan membengkak dengan
cepat dan daerah kecil pada bagian tengah kapsul yang disebut stigma akan
menonjol seperti puting. Dalam waktu 30 menit kemudian, cairan mulai mengalir
dari folikel melalui stigma. Sekitar 2 menit kemudian folikel menjadi lebih
kecil karena kehilangan cairannya, stigma akan robek cukup besar dan cairan
yang lebih kental yang terdapat di bagian tengah folikel mengalami evaginasi.
Cairan kental ini membawa ovum bersamanya yang dikelilingi oleh beratus-ratus
sel granulosa kecil yang disebut korona radiata atau sel kumulus (Anwar, 2005).
Pada
saat mendekati fase ovulasi atau mendekati hari ke-14 terjadi perubahan
produksi hormon. Peningkatan kadar estrogen selama fase pra-ovulasi menyebabkan
reaksi umpan balik negatif atau penghambatan terhadap pelepasan FSH lebih
lanjut dari hipofisis. Penurunan konsentrasi FSH menyebabkan hipofisis
melepaskan LH. Dan LH merangsang pelepasan oosit sekunder dari folikel de
Graaf. Pada saat inilah disebut ovulasi dan umumnya ovulasi terjadi pada hari
ke-14 (Bertharia).
3.
Fase
pra-ovulasi
Masuknya ovum ke dalam
tuba fallopi (oviduct). bila terjadi
ovulasi, ovum bersama dengan beratus-ratus atau lebih sel-sel granulosa yang
melekat padanya, yang mengandung korona
radiatea, dikeluarkan langsung kedalam rongga peritoneum dan selanjutnya
harus masuk ke dalam salah satu tuba
fallopi untuk mencapai kavum uteri. Ujung fimbria dari masing-masing tuba
fallopi secara alami jatuh di sekitar ovarium. Permukaan dalam tentakel fimbria
dibatasi oleh epitel bersilia, dan silia ini yang diaktivasi oleh esterogen,
secara terus menerus bergerak ke arah pembukaan, osteum tuba fallopi. Kita dengan jelas dapat dilihat arus cairan
yang lambat mengalir ke arah ostium. Dengan cara ini ovum memasuki salah satu
tuba fallopi.
Tampaknya
akan banyak ovum gagal masuk ke dalam tuba fallopi. Akan tetapi, berdasarkan
pada penelitian konsepsi, mungkin sekali bahwa 98 persen ovum berhasil memasuki
tuba. Ternyata, ada catatan kasus dimana wanita yang satu ovariumnya diangkat
dan tuba fallopi sisi yang berlawanan juga diangkat, dapat memiliki banyak anak
dengan konsepsi yang relatif mudah, sehingga menggambarkan bahwa ovum bahkan
dapat mencapai tuba fallopi sisi yang berlawanan (Guyton dan Hall, 1997).
Pada
fase pasca-ovulasi, folikel de Graaf yang ditinggalkan oleh oosit sekunder karena
pengaruh LH dan FSH akan berkerut dan berubah menjadi korpus luteum. Korpus
luteum tetap memproduksi estrogen (namun tidak sebanyak folikel de Graaf
memproduksi estrogen) dan hormon lainnya, yaitu progesteron. Progesteron
mendukung kerja estrogen dengan menebalkan dinding dalam uterus atau
endometrium dan menumbuhkan pembuluh-pembuluh darah pada endometrium.
Progesteron juga merangsang sekresi lendir pada vagina dan pertumbuhan kelenjar
susu pada payudara. Keseluruhan fungsi progesteron (juga estrogen) tersebut
berguna untuk menyiapkan penanaman (implantasi) zigot pada uterus bila terjadi
pembuahan atau kehamilan.
Proses
pasca-ovulasi ini berlangsung dari hari ke-15 sampai hari ke-28. Namun, bila
sekitar hari ke-26 tidak terjadi pembuahan, korpus luteum akan berubah menjadi
korpus albikan. Korpus albikan memiliki kemampuan produksi estrogen dan
progesteron yang rendah, sehingga konsentrasi estrogen dan progesteron akan
menurun. Pada kondisi ini, hipofisis menjadi aktif untuk melepaskan FSH dan
selanjutnya LH, sehingga fase pasca-ovulasi akan tersambung kembali dengan fase
menstruasi berikutnya (Bertharia).
Gambar 2.1 Proses ovulasi
sumber:
Bertharia
B.
Syarat-Syarat,
Jenis-Jenis dan Proses terjadinya Fertilisasi
Gambar 2.2 fertilisasi
pada babi
Sumber:
Anonim, 2013
Pembuahan atau fertilisasi
(singami) menurut Bertharia adalah peleburan dua gamet yang dapat berupa nukleus atau sel-sel bernukleus untuk membentuk sel tunggal (zigot) atau peleburan nukleus. Biasanya melibatkan
penggabungan sitoplasma (plasmogami) dan penyatuan bahan nukleus (kariogami).
Fungsi
utama fertilisasi adalah mengombinasikan perangkat-perangkat haploid kromosom
dari dua individu menjadi satu sel diploid tunggal, zigot. (Campbeel, 2008)
1.
Jenis-Jenis
Fertilisasi
Proses fertilisasi dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a. Fertilisasi
internal
fertilisasi
internal adalah proses pembuahan ovum oleh sperma terjadi di dalam tubuh
organisme betinanya, sehingga lebih aman dari gangguan faktor luar, tersimpan
di dalam rahim organisme betinanya. Hanya saja perkembangan ovum yang telah
dibuahinya dapat bermacam-macam, misalnya ada yang mengalami ovovipar (telur menetas menjadi bayi di luar
tubuh betinanya, seperti terjadi pada golongan serangga dan burung), ovovivipar (telur menetas menjadi bayi sewaktu
akan ke luar dari tubuh betinanya, seperti terjadi pada golongan kadal), dan
vivipar (melahirkan bayi atau anak, seperti terjadi pada golongan hewan
menyusui).
Fertilisasi
internal memastikan ketersediaan lingkungan yang lembab, tempat sperma dapat
bergerak menuju ke sel telur. Sekresi-sekresi pada pada saluran reproduksi
betina bertangging jawab terhadap penigkatan mortilitas sperma.
b. Fertilisasi
eksternal
Dalam
fusi fertilisasi eksternal sperma dan sel telur terjadi secara eksternal dari
tubuh wanita. Fertilisasi eksternal membutuhkan air untuk memfasilitasi
pembuahan mereka, sehingga terjadi dalam lingkungan basah. Gamet jantan dan
betina yang dilepaskan ke dalam air, dan gamet jantan sebagian besar dapat
bergerak. Jenis fertilisasi dapat dilihat pada tanaman tingkat rendah.
Keuntungan dari fertilisasi eksternal adalah bahwa ia menghasilkan sejumlah
besar keturunan karena bahaya eksternal. Jadi kelangsungan hidup embrio relatif
rendah. Amfibi dan ikan adalah contoh untuk jenis hewan.
2.
Syarat-Syarat
Terjadinya Fertilisasi
Menurut Arif (2015),
peristiwa fertilisasi dapat terjadi apabila memenuhi syatat-syarat yaitu:
a. Kematangan
ovum
Fertilisasi
dapat terjadi apabila ovum telah matang, telah mengalami proses oogenesis dan
telah terjadi ovulasi.
b. Harus
mengalami kapasitasi khusus pada spermatozoa di dalam saluran reproduksi
wanita.
Fertilisasi adalah proses penyatuan gamet pria
dan wanita, yang terjadi di daerah ampulla tuba fallopii.Spermatozoa
bergerak dengan cepat dari vagina ke rahim dan selanjutnya masuk kedalam
saluran telur.Pergerakan naik ini disebabkan oleh kontraksi otot-otot uterus
dan tuba. Sebelum spermatozoa dapat membuahi oosit, mereka harus mengalami
proses kapasitasi dan reaksi akrosom
Kapasitasi Spermatozoa merupakan tahapan awal sebelum
fertilisasi. Sperma yang dikeluarkan dalam tubuh (fresh ejaculate) belum dapat
dikatakan fertil atau dapat membuahi ovum apabila belum terjadi proses
kapasitasi. Proses ini ditandai pula dengan adanya perubahan protein pada
seminal plasma, reorganisasi lipid dan protein membran plasma, Influx Ca, AMP
meningkat, dan pH intrasel menurun (Widhi, 2012).
Kapasitasi
adalah suatu masa penyesuaian di dalam saluran reproduksi wanita, yang pada
manusia berlangsung kira-kira 7 jam. Selama waktu ini, suatu selubung dari
glikoprotein dari protein-protein plasma segmen dibuang dari selaput plasma,
yang membungkus daerah akrosom spermatozoa. Hanya sperma yang menjalani
kapasitasi yang dapat melewati sel korona dan mengalami reaksi akrosom (Sadler,
2012).
Gambar 2.3 Kapasitasi Spermatozoa
menggunakan CTC
Sumber:
Anonim, 2013
3.
Tahapan
Fertilisasi
Fertilisasi umumnya
terjadi segera setelah oosit sekunder memasuki oviduk. Namun, pada fertilisasi
mencakup 5 tahap:
a.
Penembusan korona radiata.
Waktu ovulasi sel telur masih diliputi
oleh corona radiata . namun spermatozoa mempunyai enzyme hyaluronidase yang
dapat melarutkan senyawa hialuronid pada corona radiata tersebut hingga salah
satu spermatozoon dapat menembus dinding sel telur
Dari 200-300 juta spermatozoa yang dicurahkan
ke dalam saluran kelamin wanita, hanya 300-500 yang mencapai tempat pembuahan.
Hanya satu diantaranya yang diperlukan untuk pembuahan, dan diduga bahwa
sperma-sperma lainnya membantu sperma yang akan membuahi untuk menembus
sawar-sawar yang melindungi gamet wanita. Sperma yang mengalami kapasitasi
dengan bebas menembus sel korona (Bertharia).
Gambar 2.3 penetrasi sperma pada ovum
Sumber: Anonim, 2013
b. Perlekatan spermatozoa dengan
zona pelucida
Zona
pelucida merupakan zona terluar dalam ovum. Salah satu komponen zona pelusida
berfungsi sebagai reseptor sperma. Syarat agar sperma dapat menempel pada zona
pelucida adalah jumlah kromosom harus sama, baik sperma maupun ovum, karena hal
ini menunjukkan salah satu ciri apabila keduanya adalah individu yang sejenis.
Perlekatan sperma dan ovum dipengaruhi adanya reseptor pada sperma yaitu berupa
protein. Sementara itu suatu glikoprotein pada zona pelucida berfungsi seperti
reseptor sperma yaitu menstimulasi fusi membran plasma dengan membran akrosom
(kepala anterior sperma) luar. Sehingga terjadi interaksi antara reseptor dan
ligand. Hal ini terjadi pada spesies yang spesifik. Pengikatan sperma ke reseptor ini menginduksi
terjadinya reaksi akrosom (Campbeel, 2008 dan Widhi, 2012).
c.
Reaksi akrosom
Reaksi akrosom terjadi setelah penempelan ke
zona pelusida dan diinduksi oleh protein-protein zona. Reaksi ini berpuncak
pada pelepasan enzim-enzim yang diperlukan untuk menembus zona pelusida, antara
lain akrosin dan zat-zat serupa tripsin
Reaksi
tersebut terjadi sebelum sperma masuk ke dalam ovum. Reaksi akrosom terjadi
pada pangkal akrosom, karena pada lisosom anterior kepala sperma terdapat enzim
digesti yang berfungsi penetrasi zona pelucida. Mekanismenya adalah reseptor
pada sperma akan membuat lisosom dan inti keluar sehingga akan merusak zona
pelucida. Reaksi tersebut menjadikan akrosom sperma hilang sehingga fusi sperma
dan zona pelucida sukses (Widhi, 2012).
Gambar 2.4 Tahapan hilangnya ion
Kalsium Pada proses reaksi akrosom
Sumber: Anonim, 2013
Gambar 2.5 Gambaran kerusakan membran
spermatozoa
Sumber: Anonim, 2013
d.
Penembusan zona pelusida
Zona pelusida adalah sebuah perisai
glikoprotein di sekeliling telur yang mempermudah dan mempertahankan pengikatan
sperma dan menginduksi reaksi akrosom. Pelepasan enzim-enzim akrosom
memungkinkan sperma menembus zona pelusida, sehingga akan bertemu dengan
membrane plasma oosit. Permeabilitas zona pelusida berubah ketika kepala sperma
menyentuh permukaan oosit. Hal ini mengakibatkan pembebasan enzim-enzim lisosom
dari granul-granul korteks yang melapisi membrane plasma oosit. Pada
gilirannya, enzim-enzim ini menyebabkan perubahan sifat zona pelusida (reaksi
zona) untuk menghambat penetrasi sperma dan membuat tak aktif tempat tempat
reseptor bagi spermatozoa pada permukaan zona yang spesifik spesies.
Spermatozoa lain ternyata bisa menempel di zona pelusida tetapi hanya satu yang
menembus oosit (Bertharia).
Penetrasi zona pelusida memungkinkan terjadinya
kontak antara spermatozoa dan membran oosit. membran sel germinal segera
berfusi dan sel sperma berhenti bergerak. inti sel sperma kemudian memasuki
sitoplasma se telur.
Tiga peristiwa penting
terjadi dalam oosit akibat peningkatan kadar kalsium intraseluler yang terjadi
pada oosit saat terjadi fusi antara membran sperma dan sel telur. membran sel
telur berdepolarisasi, sehingga mencegah fusi membran dengan spermatozoa
lainnya. hal ini disebut sebagai blok
primer terhadap polispermia. blok ini memastikan bahwa hanya satu
pronukleus pria yang dapat berfusi dengan pronukleus wanita dan menjaga keadaan
diploid pada zigot. peristiwa yang kedua dikenal sebagai reaksi kortikal. granula-granula kortikal berada sedikit dibawah
membran sel telur, dan bersama dengan reaksi kortikal ini mreka berfusi dengan
membran dan melepaskan isinya kedalam zona pelusida. reaksi ini akan membuat
zona menjadi keras dan mengganggu kemampuan sperma lain untuk berikatan dengan
zona - blok sekunder terhadap polispermia.
peristiwa yang ketiga meliputi dimulainya lagi pembelahan meiosis kedua dari
sel telur. badan polar kedua terbentuk dan dikeluarkan dari sel telur sehingga
memastikan bahwa pronukleus wanita bersifat haploid (Schust, 2006).
e.
Fusi oosit dan membran sel sperma.
Segera setelah spermatozoa menyentuh membrane
sel oosit, kedua selaput plasma sel tersebut menyatu. Karena selaput plasma
yang menbungkus kepala akrosom telah hilang pada saat reaksi akrosom, penyatuan
yang sebenarnya terjadi adalah antara selaput oosit dan selaput yang meliputi
bagian belakang kepala sperma. Pada manusia, baik kepala dan ekor spermatozoa
memasuki sitoplasma oosit, tetapi selaput plasma tertingal di permukaan oosit.
Sperma dapat menembus oosit sekunder karena
baik sperma maupun oosit sekunder saling mengeluarkan enzim dan atau senyawa
tertentu, sehingga terjadi aktivitas yang saling mendukung. Pada sperma, bagian
kromosom mengeluarkan:
Hialuronidase
Enzim yang dapat melarutkan senyawa hialuronid pada korona
radiata.
Akrosin
Protease yang dapat menghancurkan glikoprotein pada zona
pelusida.
Antifertilizin
Antigen terhadap oosit sekunder sehingga sperma dapat
melekat pada oosit sekunder. Oosit sekunder juga mengeluarkan senyawa tertentu,
yaitu fertilizin yang tersusun dari glikoprotein dengan fungsi :
1)
Mengaktifkan sperma agar bergerak
lebih cepat.
2)
Menarik sperma secara kemotaksis
positif.
3)
Mengumpulkan sperma di sekeliling
oosit sekunder.
Setelah spermatozoa memasuki oosit, sel
telur menanggapinya dengan 3 cara yang berbeda :
1)
Reaksi kortikal dan zona : sebagai
akibat terlepasnya butir-butir kortikal oosit.
a)
selaput oosit tidak dapat ditembus
lagi oleh spermatozoa lain
b)
zona pelusida mengubah struktur
dan komposisinya untuk mencegah penambatan dan penetrasi sperma dengan cara ini
terjadinya polispermi dapat dicegah.
2)
Melanjutkan pembelahan meiosis
kedua. Oosit menyelesaikan pembelahan meiosis keduanya segera setelah
spermatozoa masuk. Salah satu dari sel anaknya hamper tidak mendapatkan
sitoplasma dan dikenal sebagai badan kutub kedua, sel anak lainnya adalah oosit
definitive. Kromosomnya (22+X) tersusun di dalam sebuah inti vesikuler yang
dikenal sebagai pronukleus wanita.
3) Penggiatan metabolic sel telur. Faktor penggiat diperkirakan dibawa
oleh spermatozoa. Penggiatan setelah penyatuan diperkirakan untuk mengulangi
kembali peristiwa permulaan seluler dan molekuler yang berhubungan dengan awal
embriogenesis.
Sementara itu, spermatozoa bergerak maju terus
hingga dekat sekali dengan pronukleus wanita. Intinya membengkak dan membentuk
pronukleus pria sedangkan ekornya terlepas dan berdegenerasi. Secara
morfologis, pronukleus wanita dan pria tidak dapat dibedakan dan sesudah itu
mereka saling rapat erat dan kehilangan selaput inti mereka. Salama masa
pertumbuhan, baik pronukleus wanita maupun pria (keduanya haploid) harus menggandakan
DNA-nya. Jika tidak, masing-masing sel dalam zigot tahap 2 sel tersebut akan
mempunyai DNA separuh dari jumlah DNA normal. Segera sesudah sintesis DNA,
kromosom tersusun dalam gelendong untuk mempersiapkan pembelahan mitosis yang
normal. 23 kromosom ibu dan 23 kromosom ayah membelah memanjang pada sentromer,
dan kromatid-kromatid yang berpasangan tersebut saling bergerak ke arah kutub
yang berlawanan, sehingga menyiapkan sel zigot yang masing-masing mempunyai
jumlah kromosom dan DNA yang normal. Sementara kromatid-kromatid berpasangan
bergerak kearah kutub yang berlawanan, muncullah satu alur yang dalam pada
permukaan sel, berangsur-angsur membagi sitoplasma menjadi 2 bagian (Sadler,
2012).
Gambar 2.6 Proses fertilisasi
Sumber:
Anonim, 2013
Gambar 2.7 proses fertilisasi hingga terbentuk
zigot
sumber: Anonim,
2013
Hasil
utama pembuahan adalah sebagai berikut:
1. Pemulihan
jumlah diploid kromosom, separuh dari ayah dan separuh dai ibu. Karena zigot
mengandung kombinasi yang berbeda dari kedua orang tuanya
2. Penentuan
jenis kelamin individu baru. Sperma pembawa kromosom X mengahsilkan mudigah
wanita (XX) dan sperma pembawa kromosom Y menghasilkan mudiga Pria (XY). Karen
aitu jenis kelamin kromosomal mudigah ditentukan oelh pembuahan
3. inisiasi
pembelahan. tanpa pembuahan oosit biasanya berdegerasi 24 jam setelah ovulasi.
C.
Penyibakan
(cleavage)
Setelah fertilisasi selesai, serangkaian
pembelahan sel berlangsung cepat pada bererbagai spesies. Periode ini disebut penyibakan (clevage). Selama periode ini sel-sel melaksanakan fase S
(sintesis DNA) dan fase M (mitosis) siklus sel. Akan tetapi, sel-sel itu sering
kali melewatkan fase G1 dan G2 (gap), dan hanya ada sedikit sintesis protein
atau bahkan tidak sama sekali. Akibatnya embrio tidak membesar secara
signifikan selama periode perkembangan ini, Dalam beberapa jam pasca
fertilisasi, penyatuan nuklei akan membentuk dua buah sel dan selanjutnya dalam
waktu 3 – 4 hari sudah terbentuk sebuah masa solid yang disebut morula. Morula dengan cepat berjalan didalam Tuba Falopii menuju rongga
uteru. Selama perjalanannya, melalui kanalikuli zona pellucida masuk sejumlah
cairan membentuk rongga cairan dalam morula sehinga terbentuk blastosis. Penyibakan
hanya membagi-bagi sitoplasma dari satu sel yang berukuran besar, zigot.,
menjadi sel-sel kecil yang disebut blastomer
(blastomere), masing-masing
dengan nukleusnya sendiri (Campbell, 2008).
Kira-kira
setelah 3 hari setelah pembuahan, sel-sel embrio yang termampatkan
termampatkan, blastomer, membelah lagi membentuk morula. Morula adalah kumpulan
dari 16-30 sel blastomer. Karena sel-sel ini muncul dari pembelahan (cleavage),
dari zigot dan semua terdapat pada zona pelusida yang tidak membesar, jadi
pertumbuhan tidak banyak terlihat (Anonim, 2011).
Pada hari ke-4
setelah inseminasi, sel terluar dari morula yang masih diselubungi dengan zona
pelucida mulai berkumpul membentuk suatu pemadatan. Sebuah rongga terbentuk
pada di interior blastokista dan Kira-kira pada waktu morula memasuki rongga
rahim, cairan mulai menembus zona pelusida masuk ke dalam ruang antar sel yang
ada di massa sel dalam (inner cell mass). Sel-sel embrio berkembang dari
inner cell mass yang sekarang disebut embrioblastt. Sedangkan sel-sel di
massa sel luar atau trofoblast, menipis dan membentuk dinding epitel untuk
blastokista. Zona pelusida kini sekarang sudah menghilang, sehingga implantasi
bisa dimulai
Lima sampai
tujuh pembelahan pertama menghasilkan gugusan-gugusan sel, yang di dalamnya
sebuah rongga terisi cairan yang
disebut blastosol (blastocoel). mulai terbentuk. Blastosol terbentuk secara penuh
di dalam blastula (jamak; blastulae), yang merupakan bola sel-sel
berongga. Selama penyibakan, wilayah-wilayah sitoplasma yang berbeda, yang
terdapat dalam sel telur awal yang belum terbagi-bagi, berakhir dalam
blastomer-blastomer yang terpisah. Karena wilayah-wilayah tersebut bisa
mengandung determinan-determinan sitoplasmik yang berbeda., misalnya mRNA dan
protein spesifik, pada banyak spesies pembagian ini menyiapkan tahap untuk peristiwa-peristiwa
perkembangan selanjutnya (Campbeel, 2008 dan Anonim, 2011)
D.
Implantasi
Menurut
Bertharia, dalam beberapa jam pasca fertilisasi, penyatuan nukleus akan
membentuk dua buah sel dan selanjutnya dalam waktu 3 – 4 hari sudah terbentuk
sebuah masa solid yang disebut morula.
Morula dengan cepat berjalan
didalam Tuba Falopii menuju rongga uteru. Selama perjalanannya, melalui
kanalikuli zona pellucida masuk sejumlah cairan membentuk rongga cairan dalam
morula sehinga terbentuk blastosis.
Implantasi
adalah suatu proses melekatnya blastosis ke endometrium uterus diawali dengan
menempelnya embrio pada permukaan epitel endometrium, menembus lapisan
epitelium selanjutnya membuat hubungan dengan sistem sirukulasi ibu. implantasi
pada manusia terjadi 2-3 hari setelah telur yang telah dibuahi memasuki uterus
atau 6-7 hari setelah terjadinya fertilasi dimana ditandai dengan menempelnya
blastosis pada epitel uterus
Dalam sistem
reproduksi manusia, implantasi merupakan proses yang harus dilalui, dan
keberhasilan proses ini membutuhkan kesiapan, koodinasi dan interaksi yang
terus-menerus antara embrio dan ibu. Endometrium banyak mengandung selama darah
kaya akan gilikogen. sel-sel stroma terutama disekitar pembuluh darah mengalami
hipertrofi keadaan ini sangat baik untuk implantasi dan pertumbuhan dari hasil
konsepsi Implantasi didahului dengan bertambahnya permiabilitas kapiler stroma
uterus pada tempat blastosis akan menempel, ini menumbulkan hypotesa bahwa
isyarat dari embrio mungkin merupakan faktor pencetus yang penting. Pengetahuan
dasar tentang implantasi pada manusia masih banyak yang belum diketahui dengan
jelas, ada beberapa informasi berdasarkan pada percobaan binatang dengan
spesies yang lebih rendah. Penelitian mengenai hal tersebut telah banyak
dilakukan namun belum dapat menjelaskan secara menyeluruh mengenai proses
implantasi tersebut. Pada endometrium manusia semua komponen sistem interleukin
dapat dideteksi dengan pemeriksaan secara immunohistokimia baik pada embrio
praimplantasi maupun pada endometrium di semua fase siklus menstruasi, dimana
konsentrasinya menigkat pada fase luteal pada saat sekitar impantasia. IL-1 β
dan interleukin-1 reseptor tipe I (IL-IRtl) secara signifikan meningkat pada
fase luteal. Hal inilah yang mendorong para sarjana untuk melakukan penelitian
untuk mengungkap lebih jauh tentang fungsi. sistem IL-1 pada proses implantasi.
Tingginya kosentrasi ini dihubungkan dengan keberhasilan proses implantasi
embrio. Saat ini telah banyak penelitian yang membuktikan peran IL-1 β pada
proses implantasi melalui beberapa mekanisme antara lain aktivasi dari molekul
adhesi, aktivasi Cyclooxygenase-2 (COX-2), induksi matrix metalloproteinase
(MMP), induksi urokinasi plasminogen aktivator (u-PA).(3) Dalam refrat ini kami
akan membahas tentang penanan IL-1 βsebagai salah satu faktor yang ikut
berperan dalam proses terjadinya implantasi.
Gambar
2.8 Implantasi
Sumber: Anonim, 2013
E.
Penentuan
Jenis Kelamin
Pembentukan jenis kelamin anak
hasil fertilisasi tergantung ada atau tidak adanya determinan maskulin selama
periode kritis perkembangan embrio. Perbedaan terbentuknya anak dengan jenis
kelamin pria atau wanita dapat terjadi setelah melalui 3 tahap, yaitu tahap
genetik, gonad, dan fenotip (anatomi) seks. Tahap genetik tergantung kombinasi
genetik pada tahap konsepsi. Jika sperma yang membawa kromosom Y bertemu dengan
oosit, terbentuklah anak laki-laki, sedangkan jika sperma yang membawa kromosom
X yang bertemu dengan oosit, maka yang terbentuk anak perempuan. Selanjutnya
tahap gonad, yaitu perkembangan testes atau ovarium. Selama bulan pertama
gestasi, semua embrio berpotensi untuk menjadi pria atau wanita, karena
perkembangan jaringan reproduksi keduanya identik dan tidak berbeda. Penampakan
khusus gonad terlihat selama usia 7 minggu di dalam uterus, ketika jaringan
gonad pria membentuk testes di bawah pengaruh sex-determining region kromosom Y
(SRY), sebuah gen yang bertanggung jawab pada seks determination. SRY
menstimulasi produksi antigen H-Y oleh sel kelenjar primitif. Antigen H-Y
adalah protein membran plasma spesifik yang ditemukan hanya pada pria yang
secara langsung membentuk testes dari gonad. Pada wanita tidak terdapat SRY,
sehingga tidak ada antigen H-Y, sehingga jaringan gonad baru mulai berkembang
setelah 9 minggu kehamilan membentuk ovarium.
Tahap fenotip tergantung pada tahap
genetik dan gonad. Diferensiasi membentuk sistem reproduksi pria diinduksi oleh
androgen, hormon maskulin yang disekresi oleh testes. Usia 10-12 minggu
kehamilan, jenis kelamin secara mudah dapa dibedakan secara anatomi pada
genitalia eksternal.
Meskipun perkembangan genitalia
eksterna pria dan wanita tidak berbeda pada jaringan embrio, tetapi tidak pada
saluran reproduksi. Dua sistem duktus primitif, yaitu duktus Wolffian dan
Mullerian menentukan terbentuknya pria atau wanita. Pada pria duktus Wolffian
berkembang dan duktus Mullerian berdegenerasi, sedangkan pada wanita duktus
Mullerian yang berkembang dan duktus Wolffian berdegenerasi. Perkembangannya
tergantung ada atau tidak adanya dua hormon yang diproduksi oleh testes fetus
yaitu testosteron dan Mullerian-inhibiting factor. Testosteron mengiduksi
duktus Wolffian menjadi saluran reproduksi pria (epididimis, duktus deference,
duktus ejakulatorius, dan vesika seminalis). Testosteron diubah menjadi
dihydrotestosteron (DHT) yang bertanggung jawab membentuk penis dan skrotum.
Pada wanita, duktus Mullerian berkembang menjadi saluran reproduksi wanita
(oviduct, uterus, dan vagina), dan genitalia eksterna membentuk klitoris dan
labia (Website Staff UI).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konsep-konsep
fertilisaasi terdiri atas proses ovulasi, proses fertilisasi, proses
implantasi, dan penetuan jenis kelamin,.
Ovulasi adalah
proses pelepasan ovum yang telah matang menuju tuba fallopi. Ovulasi terjadi
dalam 3 fase yaitu fase pra-ovulasi, fase ovulasi, dan fase pasca-ovulasi.
Fertilisasi
adalah peleburan dua gamet yang dapat berupa nukleus atau sel-sel bernukleus
untuk membentuk sel tunggal (zigot) atau peleburan nukleus. Fertilisasi
dibedakan menjadi 2 yaitu fertilasi internal dan fertilisasi eksternal.
Fertilisasi dapat terjadi apabila ovum telah matang dan terjadi kapasitasi
sperma di dalam saluran reproduksi wanita. Fertilisasi terjadi dalam 5 tahap,
yaitu; (1) penembusan korona radiata, (2) pelekatan spermatozoa dengan sona
pelusida, (3) penembusan zona pelusida, (4) reaksi akrosom, (5) fusi oosit
dengan membran sel sperma.
Setelah
fertilisasi terjadi penyibakan (claveage) membelah zigot menjadi morula dan
selanjutnya blastula. Implantasi adalah suatu proses melekatnya blastosis ke
endometrium uterus diawali dengan menempelnya embrio pada permukaan epitel
endometrium, menembus lapisan epitelium selanjutnya membuat hubungan dengan
sistem sirukulasi ibu. Penentuan jenis kelamin ditentukan oleh kromosom seks
yang dibawa oleh sperma.
DAFTAR
PUSTAKA
Andriaanty, Dwi. 2013. Individu dan Masyarakat Dalam Proses Sosial Budaya http://andriianty.blogspot.co.id/2013/05/individu-dan-masyarakat-dalam-proses.html diakses
pada tanggal 24 September 2015.
Anonim. 2011. Bab II Tinjauan Pustaka Embriogenesis. (online), (repository.
usu.ac.id/bitstream/123456789/21471/4/Chapter%20II.pdf, diakses 20 September 2015).
Anonim.
2013. Materi 6 Transportasi Sel Gamet dan
Fertilisasi. (online), (http://reproduksiternak.lecture.ub.ac.id/files/2013/09/MATERI-6-TRANSPORTASI-SPERMA-DAN-FERTILISASI-IRT.pdf,
diakses tanggal 20 September 2015).
Anwar, R.
2005. Morfologi dan Fungsi Ovarium.
(online), (pustaka.unpad.ac.id/ wp-content/.../morfologi_dan_fungsi_ovarium.pdf, diakses tanggal 20 September 2015)
Arif, A.
2015. Ovulasi Fertilisasi dan Kebuntingan.
http://www.academia.edu/
9950952/Ovulasi_Fertilisasi_dan_Kebuntingan, diakses
tanggal 20 September 2015
Bertharia, D. Tanpa Tahun . Proses Ovulasi, Fertilisasi, Implantasi, dan Embriogenesis.
(Online), (http://xa.yimg.com/kq/groups/23627341/ 170641243/name/proses+ovulasi. pdf, diakses tanggal 20 September
2015).
Campbell,
N. A. dkk. 2008. Biologi Edisi Kedelapan
Jilid 3. Jakarta: Erlangga
Christy, dina. 2011. Reproduksi. https://dinachristy.files.wordpress.com/2011/
05/tugas-biologi-rangkuman. diakses pada Kamis, 24 September
2015 pukul 19:37
Guyton dan Hall,1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. Penerbi Buku Kedokteran
EGC
Kawaguchi,
Hasan. 2012. Perkmebangbiakan http://kulpulan-materi.blogspot.co.id/2012/02/perkembangbiakan.html.
diakses pada tanggal, 24 September 2015.
Repository USU. Embriogenesis. (Online), ( http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/21471/4/Chapter%20II.pdf,
diakses tanggal 24 September 2015)
Sadler, T.W.
2012. Langman Embriologi Kedokteran
Edisi 10 . Buku Kedokteran EGC Jakarta.
Sastrawinata, S. 1983.Obstetri Fisiologi. Bandung.Eleman
Schust, D.J. dan Heffner, L.J. 2006. At a
Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Website Staff UI. Tanpa Tahun. Modul Reproduksi. (online), (http://staff.ui.ac.id/
system/files/users/tutinfik/material/e-bookbioteknologipdsistemreproduksi.
pdf,
diakses tanggal 24 September 2015)
Widhi. 2012. Proses Bertemunya Sperma
dan Ovum. http://netsains.net/2012/12/
proses-bertemunya-sperma-dan-ovum/. diakses
tanggal 20 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar