BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Bila kita amati, agama seharusnya
dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian
dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat di bumi ini. Namun, realitanya
agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran
umat manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif agar
masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang.
Kondisi
masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta
status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan
dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya
benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat.
Untuk itu
dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai
wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik
memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial
yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi
pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada
substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan
menghormati keanekaragaman budaya.
Pendidikan
multikultural juga dapat memberikan kita pengetahuan tentang pentingnya
pendidikan bagi penerus-penerus bangsa kedepannya, agar tidak melihat dan
menjalankan pendidikan dari sisi budaya, yang terkadang kurangnya dukungan dari
pihak keluarga atau pihak-pihak yang lainnya.
1.2 Rumusan masalah
1.
Apa yang di maksud dengan
pendidikan Multikultural ?
2.
Mengapa pendidikan multikultural
berpengaruh terhadap pendidiakan dalam negeri ?
3.
Bagaimana dampak pendidikan
multikultural terhadap pendidikan saat
ini ?
4.
Siapa saja pelaku pendidikan
multikultural ?
5.
Di mana peranan pendidikan
multikultural ?
6.
Kapan pendidikan multikultural
ini dapat berkembang ?
1.3
tujuan penulisan
makalah ini di
buat dan di tulis agar penulis dapat mengetahui dan menjelaskan hal-hal apa
saja yang tekait dalam pendidikan multikultural, juga agar dapat di ketahui dan
di mengerti oleh kalangan-kalangan lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan
multikultural
Menurut UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1, pendidikan merupakan usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.
Multikultural
berarti berenekaragam kebudayaan. Multikulturalisme secara sederhana dapat
diartikan sebagai pengakuan atas pluralisme budaya. Akar dari multikulturalisme
adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman
bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural
ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme.
Multikulturalisme adalah berbagai pengalaman yang membentuk persepsi umum
terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya,
bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus
Pendidikan multikultural secara
etimologis berasal dari dua term yakni pendidikan dan multikulturtal.
Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara yang mendidik.
Sedangkan istilah multikultural
sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah
kultur yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan sedang awalannya
adalah multi yang berarti banyak, ragam, aneka. Dengan demikian multikultural
berarti keragaman budaya, aneka, kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun
dalam tulisan ini lebih diartikan sebagai keragaman budaya sebagai aplikasi
dari keragaman latarbelakang seseorang.
Pendidikan multikultural adalah
sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi yang memahami,
menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada
dan dari manapun datangnya (secara ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa,
keyakinan, atau agama, dan negara).
Pendidikan multikultural secara
inhern merupakan dambaan semua orang, lantaran keniscayaannya konsep
“memanusiakan manusia”. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya dia akan
sangat membutuhkan pendidikan model pendidikan multikultural ini.
Menurut
beberapa ahli :
Menurut Paul Gorski pendidikan
multikultural merupakan pendekatan progresif untuk mengubah pendidikan secara
holistik dengan mengkritik dan memusatkan perhatian pada kelemahan, kegagalan,
dan praktek diskriminatif di dalam pendidikan akhir-akhir ini. Keadilan sosial,
persamaan pendidikan, dan dedikasi menjadi landasan Pendidikan Multikultural
dalam memfasilitasi pengalaman pendidikan agar semua siswa dapat mewujudkan
semua potensinya secara penuh dan menjadikannya sebagai manusia yang sadar dan
aktif secara lokal, nasional, dan global.
H.A.R Tilaar
memberikan pengertian pendidikan multikultural sebagai merupakan suatu wacana
lintas batas yang mengupas permasalahan mengenai keadilan sosial, musyawarah,
dan hak asasi manusia, isu-isu politik, moral, edukasional dan agama.
Ainurrofiq
Dawam mengatakan, pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh
potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai
konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama).
Sedangkan
menurut Zubaedi, pendidikan multikultural merupakan sebuah gerakan pembaharuan
yang mengubah senua komponen pendidikan termasuk mengubah nilai dasar pendidikan,
aturan prosedur, kurikulum, materi pengajaran, struktur organisasi dan
kebijakan pemerintah yang merefleksikan pluralisme budaya sebagai realitas
masyarakat Indonesia.
2.2 Tujuan
Pendidikan Multikultural
Tujuan utama
dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpatik, respek,
apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda.
Imron Mashadi
(2009) pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan sebuah bangsa yang kuat,
maju, adil, makmur, dan sejahtera tanpa perbedaan etnik, ras, agama, dan
budaya. Dengan semangat membangun kekuatan diseluruh sektor sehingga tercapai
kemakmuran bersama, memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai bangsa lain.
Sutarno (2008:1-24) tujuan pendidikan multikultural mencakup 8 aspek, yaitu:
- Pengembangan leterasi etnis dan budaya. Memfasilitasi siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai budaya semua kelompok etnis.
- Perkembangan pribadi. Memfasilitasi siswa bahwa semua budaya setiap etnis sama nilai antar satu dengan yang lain. Sehingga memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan orang lain (kelompok etnis) walaupun berbeda budaya masyarakatnya.
- Klarifikasi nilai dan sikap. Pendidikan mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia, keadilan, persamaan, dan, dan demokratis.
- Sehingga pendidikan multikultural membantu siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai tidak dapat dihindari dalam masyarakat pluralistik.
- Untuk menciptakan pesamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial, dan kelompok budaya.
- Untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
- Persamaan dan keunggulan pendidikan. Tujuan ini berkaitan dengan peningkatan pemahaman guru terhadap bagaimana keragaman budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan penyelenggaraan pendidikan. Keragaman budaya berpengaruh pada pola sikap dan perilaku setiap individu. Sehingga guru harus mampu memahami siswa sebagai individu yg memiliki ciri unik dan memperhitungkan lingkungan fisik dan sosial yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.
- Memperkuat pribadi untuk reformasi sosial. Pendidikan multikultural memfasilitasi peserta didik memiliki dsan mengembangkan sikap, nilai, kebiasaan, dan keterampilan sehingga mampu menjadi agen perubahan sosial yang memiliki komitmen tinggi dalam reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparaties) etnis dan rasial.
- Memiliki wawasan kebangsaan atau kenegaraan yang kokoh.
Hasil yang
diharapkan Pendidikan Multikultural terlihat pada definisi, justifikasi,
asumsi, dan pola-pola pembelajarannya. Ada banyak variasi tujuan khusus dan
tujuan umum Pendidikan Multikultural yang digunakan oleh sekolah sesuai dengan
faktor kontekstual seperti visi dan misi belakang sekolah, siswa, lingkungan
sekolah, dan perspektif. Tujuan Pendidikan Multikultural dapat mencakup tiga
aspek belajar (kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik
nilai-nilai intrinsik (ends) maupun nilai instrumental (means) Pendidikan
Multikultural. Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup :
1. Pengembangan
Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu
alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam program
sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum. Pertama, kita harus memberi informasi
pada siswa tentang sejarah dan kontribusi dari kelompok etnis yang secara
tradisional diabaikan dalam kurikulum dan materi pembelajaran, kedua, kita harus menempatkan kembali
citra kelompok ini secara lebih akurat dan signifikan, menghilangkan bias dan
informasi menyimpang yang terdapat dalam kurikulum.
Yang dimaksud
dengan informasi menyimpang ini adalah informasi yang salah tentang sistem
nilai dan budaya dari etnis tertentu atau melihat sistem nilai budaya mereka
dari sudut pandang kelompok lain. Siswa masih terlalu sedikit mengetahui
tentang sejarah, pewarisan, budaya, bahasa, dan kontribusi kelompok masyarakat
yang beragam dari bangsanya sendiri.
Jadi, tujuan
utama Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang
sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu
yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai
kelompoketnis mayoritas dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif,
analistis, dan komparatif, dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan di
antara kelompok-kelompok yang ada.
Tujuan ini
cocok untuk mayoritas siswa maupun kelompok minoritas etnis. Kesalahan yang
sering dibuat adalah menganggap bahwa anggota kelompok etnis minoritas telah
mengetahui budaya dan sejarahnya atau bahwa jenis pengetahuan ini hanya relevan
untuk mereka, bukan untuk kami. Pendidikan Multikultural berargumentasi
sebaliknya. Keanggotaan kelompok etnis
tidak menjamin pengetahuan diri atau pemilikan pengetahuan tentang kelompok
itu.
Orang yang
berasal dari Jawa tidak otomatis mengetahui budaya Jawa. Orang Bali tidak
otomatis mengetahui keyakinan dan budaya yang ada di daerahnya.
Mempelajari
sejarah, kehidupan, dan budaya kelompok etnis cocok untuk semua siswa karena mereka perlu belajar lebih akurat
tentang warisan budayanya sendiri maupun budaya orang lain. Lebih dari itu, pengetahuan tentang pluralisme budaya
merupakan dasar yang diperlukan untuk menghormati, mengapresiasi, menilai dan
memperingati keragaman, baik lokal, nasional dan internasional.
2. Perkembangan Pribadi
Dasar
psikhologis Pendidikan Multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman
diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas
pribadinya. Penekanan bidang ini merupakan bagian dari tujuan Pendidikan
Multikultural yang berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi
pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi
terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa.
Siswa merasa
baik tentang dirinya sendiri karena lebih terbuka dan reseptif (menerima) dalam
berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan identitasnyanya.
Pendapat ini mendapat justifikasi lebih lanjut dengan temuan penelitian yang
berkaitan dengan adanya hubungan timbal balik antara konsep diri, prestasi
akademis, identitas individu, etnis dan budaya.
Para siswa
telah menginternalisasi konsep negatif dan salah tentang etnisnya sendiri dan
kelompok etnis lain. Siswa dari kelompok lain mungkin berpendirian bahwa
warisan budayanya hanya memiliki nilai tawar yang kecil, sedangkan nilai yang
ada pada kelompok dominan mungkin terlalu ditinggikan. Mengembangkan pemahaman
yang lebih baik tentang diri mereka sendiri dan pengalaman budaya dan kelompok
etnis yang lain dapat memperbaiki penyimpangan ini. Pendidikan Multikultural
juga membantu mencapai tujuan memaksimalkan potensi kemanusiaan, dengan
memenuhi kebutuhan individu, dan mengajar siswa seutuhnya dengan mempertinggi
rasa penghargaan pribadi, kepercayaan dan kompetensi dirinya. Pendidikan
Multikultural menciptakan kondisi kesiapan psikhososial dalam diri individu dan
lingkungan belajar yang memiliki efek positif pada upaya dan penguasaan tugas
akademis.
3. Klarifikasi Nilai dan Sikap
Pendidikan
Multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat
manusia (human dignity), keadilan, persamaan, kebebasan, dan demokrasi.
Maksudnya
adalah mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme etnis,
menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah
diri, dan untuk mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi
manusia. Pengklarifikasian sikap dan nilai etnis didesain untuk membantu siswa
memahami bahwa berbagai konflik nilai itu tidak dapat dielakkan dalam
masyarakat pluralistik; dan bahwa konflik tidak harus menghancurkan dan memecah
belah. Jika kita mengelola dengan baik hal itu akan dapat menjadi katalis
kemajuan sosial dan ada kekuatan dalam pluralisme etnis dan budaya; bahwa
kesetiaan etnis (ethnic allegiance) dan loyalitas nasional (national loyalty)
bukan tidak dapat didamaikan; dan bahwa kerjasama dan koalisi di antara
kelompok etnis tidak tergantung pada pemilikan keyakinan, nilai, dan perilaku
yang sama. Menganalisa dan mengklarifikasi sikap dan nilai etnis merupakan langkah
kunci dalam proses melepaskan potensi kreatif individu untuk memperbarui diri
dan masyarakat untuk tumbuh-kembang lebih lanjut.
4. Kompetensi Multikultural
Penting sekali
bagi siswa untuk mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan memahami orang
yang secara etnis, ras, dan kultural berbeda dari dirinya. Dunia kita menjadi
semakin lebih beragam, kompak, dan saling tergantung. Namun, bagi sebagian
besar siswa, awal-awal pembentukan kehidupannya dihabiskan dengan isolasi atau
terkurung di daerah kantong secara etnis dan kultural. Kita biasa hidup dalam
kantong-kantong budaya yang sempit yang hanya mengenal budaya yang sempit pula.
Peralihan dari
generasi ke generasi mengalami penurunan pemahaman akan budaya kita. Nenek kita
lebih mengenal budaya daerah kita. Orang tua kita mengalami sedikit pengurangan
dalam memahami budayanya. Akhirnya dia mengajarkan nilai-nilai budaya yang
tidak utuh itu pada kita. Akhirnya jadilah anak kita yang terkungkung oleh
kepicikan budaya yang serba kurang dan menyimpang dari akar budaya yang
sesungguhnya. Mungkin kita bukan orang Batak tulen atau Bali tulen yang
benar-benar memahami budaya kita. Kita tidak menyiapkan lingkungan dan latar
belakang multikultural yang berbeda untuk pembelajaran. Upaya interaksi lintas
kultural seringkali terhalang oleh nilai, harapan dan sikap negatif ; kesalahan
budaya (cultural blunders); dan dengan mencoba menentukan aturan etiket sosial
(rules of social etiquette) dari satu sistem budaya terhadap sistem budaya yang
lain. Hasilnya seringkali adalah frustasi, kecemasan, ketakutan, kegagalan dan
permusuhan kelompok antarras dan antaretnik.
Pendidikan
Multikultural dapat meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas budaya,
hubungan antar pribadi, pengambilan perspektif, analisis kontekstual, pemahaman
sudut pandang dan kerangka berpikir alternatif, dan menganalisa bagaimana
kondisi budaya mempengaruhi nilai, sikap, harapan, dan perilaku.
Pendidikan
Multikultural dapat membantu siswa mempelajari bagaimana memahami perbedaan
budaya tanpa membuat pertimbangan nilai yangsemena-mena tentang nilai
intrinsiknya. Untuk mencapai tujuan ini anak dapat diberi pengalaman belajar
dengan memberi berbagai kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan kompetensi
budaya dan berinteraksi dengan orang, pengalaman, dan situasi yang berbeda.
5. Kemampuan
Ketrampilan Dasar
Tujuan utama
Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi pembelajaran untuk melatih
kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang berbeda secara etnis. Pendidikan
Multikultural dapat memperbaiki penguasaan membaca, menulis dan ketrampilan
matematika; materi pelajaran; dan ketrampilan proses intelektual seperti
pemecahan masalah, berpikir kritis, dan pemecahan konflik dengan memberi materi dan teknik yang lebih bermakna untuk
kehidupan dan kerangka berpikir dari siswa yang berbeda secara etnis. Menggunakan
materi, pengalaman, dan contoh-contoh sebagai konteks mengajar, mempraktekkan,
dan mendemonstrasikan penguasaan ketrampilan akademis dan mata pelajaran dapat
meningkatkan daya tarik pembelajaran, mempertinggi relevansi praktis
ketrampilan yang dipelajari, dan memperbaiki tempo siswa dalam melaksanakan
tugas.
Kombinasi
kondisi ini akan membimbing ke arah upya yang lebih terfokus, penguasaan
ketrampilan dan prestasi akademis. Misalnya, kita menggunakan sempoa dari etnis
Tionghoa untuk melatih ketrampilan di bidang aritmatika.
Aspek lain dari
Pendidikan Multikultural yang berkontribusi secara langsung pada level
pencapaian ketrampilan dasar yang lebih tinggi adalah kesesuaian dengan gaya
belajar dan mengajar. Tidak adanya titik temu dalam bagaimana siswa yang
berbeda mempelajari masyarakat budayanya dan bagaimana mereka diharapkan belajar
di sekolah menyebabkan banyak waktu dan perhatian dicurahkan pada pemecahan
konflik daripada berkonsentrasi dalam tugas akademis itu sendiri. Mengajari
siswa supaya biasa belajar meminimalkan konflik ini dan menyalurkan energi dan
upaya secara langsung lebih diarahkan pada penyelesaikan tugas akademis. Jadi, pengajaran kontekstual secara kultural
dalam melakukan proses pendidikan lebih efektif untuk siswa yang beragam secara
etnis menjadi prinsip mendasar dari Pendidikan Multikultural.
Jenis iklim
sosial yang ada di kelas juga mempengaruhi kinerja siswa adalam tugas akademis.
Pengaruh ini terutama benar untuk kelompok etnis yang mempertimbangkan hubungan
sosial dan latar belakang informal untuk proses belajar.
Jika guru
merespon kebutuhan ini dengan memasukkan simbol, gambar, dan informasi etnis
dalam dekorasi ruang kelas, isi kurikulum dan interaksi interpersonal, maka
siswa merasa nyaman dan memiliki afiliasi yang lebih besar dengan sekolah.
Perasaan nyaman ini menciptakan latar belakang keterhubungan pribadi yang
merupakan esensi rasa kepemilikan dalam belajar yang pada gilirannya lebih
membimbing ke arah perhatian, upaya, dan waktu yang lebih terarah pada tugas,
dan memperbaiki penguasaan tugas dan prestasi akademik.
6. Persamaan
dan Keunggulan Pendidikan
Tujuan
persamaan multikultural berkaitan erat dengan tujuan penguasaan ketrampilan
dasar, namun lebih luas dan lebih filosofis. Untuk menentukan sumbangan
komparatif terhadap kesempatan belajar, pendidik harus memahami secara
keseluruhan bagaimana budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan
keputusan pendidikan. Mereka harus mengembangkan berbagai alat untuk melengkapi
hasil belajar yang menggambarkan preferensi dan gaya dari berbagai kelompok dan
individu. Dengan memberi pilihan yang lebih pada semua siswa pilihan tentang
bagaimana mereka akan belajar, pilihan yang sesuai dengan gaya budaya mereka,
tidak seorang pun akan terlalu dirugikan atau diuntungkan pada level prosedural
dari belajar.
Pilihan ini
akan membimbing ke paralelisme (misalnya persamaan) dalam kesempatan belajar
dan lebih komparatif dalam prestasi maksimum siswa dalam kemampuan
intelektualnya.
Aspek lain dari
tujuan memasukkan informasi akurat dalam mengajarkan tentang masyarakat adalah
mengembangkan rasa kesadaran sosial (a sense of social consciousness),
keberanian moral, dan komitmen terhadap persamaan; dan memperoleh ketrampilan
dalam aktivitas politik untuk mereformasi masyarakat untuk membuatnya lebih
manusiawi, simpatik terhadap pluralisme kultural, keadilan moral, dan
persamaan. Oleh karena itu tujuan multikultural untuk mencapai persamaan dan
keunggulan pendidikan mencakup kognitif, afektif dan ketrampilan perilaku, di
samping prinsip demokrasi (Banks, 1993).
7. Memperkuat
Pribadi untuk Reformasi Sosial
Tujuan terakhir
dari Pendidikan multikultural adalah memulai proses perubahan di sekolah yang pada akhirnya akan meluas ke
masyarakat.
Tujuan ini akan
melengkapi penanaman sikap, nilai, kebiasaan dan ketrampilan siswa sehingga
mereka menjadi agen perubahan sosial (social change agents) yang memiliki
komitmen yang tinggi dengan reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan
(disparities) etnis dan rasial dalam kesempatan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan
komitmen ini.
Untuk melakukan
itu, mereka perlu memperbaiki pengetahuan mereka tentang isu etnis di samping
mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan, ketrampilan tindakan sosial,
kemampuan kepemimpinan, dan komitmen moral atas harkat dan persamaan. Mereka
tidak hanya perlu memahami dan mengapresiasi mengapa pluralisme etnis dan
budaya itu ada, namun juga bagaimana menterjemahkan pengetahuan kepada
keputusan dan tindakan yang berhubungan dengan isu, peristiwa dan situasi
sosiopolitis yang esensial.
Tujuan dan
pengembangan ketrampilan ini didesain untuk membuat masyarakat lebih
benar-benar egaliter dan lebih menerima pluralisme kultural. Juga dimaksudkan
untuk menjamin bahwa kelompok etnis dan budaya yang secara tradisional menjadi
korban dan terasingkan akan lebih berpartisipasi secara penuh pada semua level
masyarakat, dengan semua hak, dan tanggung jawab yang menyertainya. Pendidikan
Multikultural berkontribusi secara langsung terhadap warga negara yang
demokratis di dalam global village (Swiniarski,
1999). Fungsi multikulturalisme ini adalah apa yang dimaksudkan Banks dengan
pendekatan aksisosial dari Pendidikan Multikultural, yang mengajari siswa
bagaimana menjadi kritikus sosial (social critics), aktivis politik (political
activists), agen perubahan (change agents), dan pemimpin yang berkompeten dalam
masyarakat dan yang berbeda secara etnis dan pluralistik secara kultural. Juga
sama dengan konsep Grant tentang Pendidikan multikultural untuk rekonstruksi
sosial. Pendekatan ini berfokus pada penindasan dan ketidak samaan struktur
sosial, dengan perhatian menciptakan suatu masyarakat yang lebih mampu dan
melayani kebutuhan dan kepentingan semua kelompok orang. Pendekatan ini
membangun penguatan pribadi dengan menetapkan relevansi antara pelajaran
sekolah dengan kehidupan sosial, dengan memberi latihan menerapkan pengetahuan
dan pengambilan tindakan langsung dengan kehidupannya sendiri, dan
mendemonstrasikan kekuatan pengetahuan, upaya kolaboratif, dan aksi politis
dalam mempengaruhi perubahan sosial.
Pendidikan
Multikultural akan membantu siswa dari berbagai kelompok budaya yang berbeda
dalam memperoleh ketrampilan akademik yang dibutuhkan untuk fungsinya di dalam
masyarakat yang berpengetahuan (a knowledge society). Pendidikan Multikultural
merupakan pendidikan untuk hidup (an education for life) dalam masyarakat yang
ber-Pancasila.
Membantu siswa
melampaui batas-batas budayanya dan memperoleh pengetahuan, sikap dan
ketrampilan yang dibutuhkan untuk keterlibatannya di dalam wacana publik dengan
orang yang berbeda dengan dirinya. Pendidikan Multikultural juga membantu siswa
mempelajari ketrampilan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi di dalam tindakan
kewarganegaraan (a civic action), yang merupakan bagian integral dari negara
yang berlandaskan Pancasila. Pendidikan Multikultural bukan hanya didasarkan
pada tradisi demokratis negara, namun memiliki fungsi esensial bagi daya tahan
dari suatu tradisi demokratis, pluralistis di abad mendatang (for the survival
of a democratic, pluralistic traditions in next century).
8. Memiliki
wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh
Dengan
mengetahui kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh rasa kebangsaan yang kuat.
Rasa kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang dalam wadah negara Indonesia
yang kokoh. Untuk itu Pendidikan Multikultural perlu menambahkan materi,
program dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan
menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.
9. Memiliki
wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga dunia.
Hal ini berarti
individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen). Namun
siswa harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang
apa yang ada di sekitar lokalnya. Mahasiswa diajak berpikir secara
internasional dengan mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada
di sekitarnya – act locally and globally.
10. Hidup
berdampingan secara damai.
Dengan melihat
perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan menjunjung tinggi nilai
kemanusian, dengan menghargai persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap
kelompok lain dan pada gilirannya dapat hidup berdampingan secara damai.
2.3 Prinsip-prinsip
Pendidikan Multikultural
Terdapat tiga
prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan oleh Tilaar, antara lain
sebagai berikut:
- Pendidikan multikultural didasar pada pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy).
- Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas dan mengembangkan pribadi-pribadi Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya.
- Prinsip globalisasi tidak perlu ditakuti apabila bangsa ini arah serta nilai-nilai baik dan buruk yang dibawanya.
2.4 Dasar Pendidikan
Multikultural
Berdasarkan
kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk membentuk negara
Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan yang cocok untuk
bangsa yang multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang
multikultur ini adalah Pendidikan Multikultural.
Sebagaimana
disebutkan di atas, Pendidikan Multikultural paling tidak menyangkut tiga hal
yaitu (1) ide dan kesadaran akan nilai
penting keragaman budaya, (2) gerakan
pembaharuan pendidikan dan (3) proses.
Berikut ini akan diuraikan dasar yang membentuk perlunya Pendidikan
Multikultur.
(1) kesadaran nilai
penting keragaman budaya
Perlu
peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus karena
usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya
tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan Multikultural
berkaitan dengan ide bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya
itu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.
Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun
perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya
perbedaan itu perlu kita terima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap
toleransi agar kita bisa hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsur
yang berbeda itu untuk membeda-bedakan.
Matakuliah
Pendidikan Multikultural ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis
kegiatan pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan universal. Di
dalamnya akan dibahas kebudayaan yang teraktualisasi secara internasional,
regional, dan lokal sepanjang sejarah kemanusiaan. Kegiatan pendidikan sebagai
interaksi sosio-kultural paedagogis di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh
suku bangsa Indonesia, tapi berbagai bangsa. Di dalam Pendidikan Multikultural
ini akan diungkap pula aktivitas paedagogis masa lalu, masa kini dan masa depan
di berbagai belahan dunia dengan fokus kebudayaan Indonesia.
(2) Gerakan pembaharuan
pendidikan
Ide penting
yang lain dalam Pendidikan Multikultural adalah bahwa sebagian siswa karena
karakteristik tersebut di atas, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang
lebih baik untuk belajar di sekolah favorit tertentu sedangkan siswa dengan
karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu.
Beberapa
karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok
siswa untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan
secara halus. Dalam arti, dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa
dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh golongan yang
lain. Kita perhatikan di lingkungan sekitar kita. Ada kesenjangan ketika muncul
fenomena sekolah favorit yang didominasi oleh golongan orang kaya karena ada
kebijakan lembaga yang mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal
untuk bisa masuk dalam kelompok sekolah favorit itu.
Ada kebijakan
yang dipandang tidak adil bagi golongan Tionghoa karena ada diskriminasi
terhadap kelompok mereka sehingga mereka hanya berkecimpung di bidang yang
sangat terbatas, misalnya dagang, pengacara, dokter dan mengalami kesulitan
berkarier di bidang ketentaraan dan pemerintahan.
Mereka dan
sebagian warga negara asing lainnya sulit mendapatkan status kewarganegaraan
bagi anak-anak mereka sebelum tahun 2006. Ada keluhan di kalangan atlit
bulutangkis untuk dimasuki golongan pribumi karena sudah didominasi oleh warga
keturunan Cina. Warga dari Suku Anak Dalam di Lampung kurang mendapat
kesempatan memperoleh pendidikan yang memadai karena karakteristik budaya
mereka yang unik dan tinggal di daerah pedalaman.
Pendidikan
Multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program, dan praktek yang
direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan dan aspirasi
berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan Grant dan Sleeter, Pendidikan
Multikultur bukan sekedar merupakan praktek aktual satu bidang studi atau
program pendidikan semata, namun mencakup seluruh aspek pendidikan. Pada unit
selanjutnya, akan dibahas mengenai hal ini.
(3) proses pendidikan.
Pendidikan
Multikultural juga merupakan proses (pendidikan) yang tujuannya tidak akan
pernah terrealisasikan secara penuh. Pendidikan
Multikultural adalah proses menjadi. Pendidikan Multikultural harus
dipandang sebagai suatu proses yang terus-menerus (an ongonging process), dan
bukan sebagai sesuatu yang langsung bisa tercapai. Tujuan utama dari Pendidikan
Multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar
meningkatkan skor.
Persamaan
pendidikan, seperti juga kebebasan dan keadilan, merupakan ide umat manusia
yang harus dicapai dengan perjuangan keras namun tidak pernah dapat mencapainya
secara penuh. Ras, gender, dan diskriminasi terhadap orang yang berkebutuhan
akan tetap ada sekalipun kita telah berusaha sekeras mungkin menghilangkan
masalah ini. Jika prasangka dan diskriminasi dikurangi pada suatu kelompok,
biasanya keduanya terarah pada kelompok lain atau mengambil bentuk yang lain.
Karena tujuan Pendidikan Multikultur tidak akan pernah tercapai secara penuh,
kita seharusnya bekerja secara kontinyu meningkatkan persamaan pendidikan untuk
semua siswa (educational equality for all students).
Sejalan dengan
pemikiran dari Banks di atas, Gorski menyimpulkan bahwa sejak konsep paling
awal muncul pada tahun 1960-an, pendidikan multikultural telah berubah,
difokuskan kembali, dan dikonseptualisasikan kembali. Pendidikan multikultural
berada di dalam kondisi perubahan baik teoritis maupun praktek sehingga jarang
ada dua pengajar atau ahli pendidikan yang memiliki definisi yang sama tentang
pendidikan multikultural.
Seperti halnya
dalam suatu dialog pendidikan, individu cenderung mengubah konsep untuk
disesuaikan dengan fokus tertentu.
Beberapa di
antaranya membahas pendidikan multikultural sebagai suatu perubahan kurikulum,
mungkin dengan menambah materi dan perspektif baru. Yang lain berbicara tentang
isu iklim kelas dan gaya mengajar yang dipergunakan kelompok tertentu. Yang
lain berfokus pada isu sistem dan kelembagaan seperti jurusan, tes baku, atau
ketidak cocokan pendanaan antara golongan tertentu yang mendapat jatah lebih
sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Yang lain lagi melihat perubahan
pendidikan sebagai bagian dari perubahan masyarakat yang lebih besar di mana
kita mengeksplorasi dan mengkritik dasar-dasar kemasyarakatan yang menindas dan
bagaimana pendidikan berfungsi untuk memelihara status quo – seperti di Amerika
Serikat yang terlalu berpihak pada supremasi kulit putih, kapitalisme, situasi
sosio-ekonomi global dan eksploitasi.
kesempatan
yang sama bagi setiap siswa untuk mewujudkan potensi sepenuhnya, penyiapan
pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar budaya,
penyiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi setiap siswa secara efektif,
tanpa memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan dirinya,
partisipasi aktif sekolah dalam menghilangkan penindasan dalam segala
bentuknya.
2.5 Fungsi Pendidikan Multikultural
The National
Council for Social Studies (Gorski, 2001) mengajukan sejumlah fungsi yang
menunjukkan pentingnya keberadaan dari Pendidikan Multikultural. Fungsi
tersebut adalah :
1. memberi konsep diri
yang jelas.
2. membantu memahami
pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya.
3. membantu memahami bahwa
konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat.
4. membantu
mengembangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi sosial dan
ketrampilan kewarganegaraan (citizenship skills).
5. mengenal
keberagaman dalam penggunaan bahasa
Pendidikan
Multikultural memberi tekanan bahwa sekolah pada dasarnya berfungsi mendasari
perubahan masyarakat dan meniadakan penindasan dan ketidak adilan.
Fungsi
pendidikan multikultural yang mendasar adalah mempengaruhi perubahan sosial.
Jalan di atas dapat dirinci menjadi tiga
butir perubahan :
1. perubahan
diri
2. perubahan
sekolah dan persekolahan
3. perubahan
masyarakat
Perubahan diri
dimaknai sebagai perubahan dimulai dari diri siswa sendiri itu sendiri yang
lebih menghargai orang lain agar dia bisa hidup damai dengan sekelilingnya.
Kemudian
diwujudkan dalam tata tutur dan tata perlakunya di lingkungan sekolah dan
berlanjut hingga di masyarakat. Karena sekolah merupakan agen perubahan, maka
diharapkan ada perubahan yang terjadi di masyarakat seiring dengan terjadi
perubahan yang terdapat dalam lingkungan persekolahan. (Gorski, 2001).
2.6 Faktor Penyebab
Masyarakat Multikultural di Indonesia
1.
Faktor Sejarah Indonesia. Indonesia merupakan negara yang
memiliki sumber daya alam yang melimpah terutama dalam hal rempah-rempah.
Sehingga banyak negara-negara asing ingin menjajah seperti Portugis, Belanda,
Inggris, dan Jepang. Dengan demikian mereka tinggal dalam jangka waktu yang
lama bahkan ada yang menikah dengan bangsa Indonesia.
2.
Faktor Pengaruh Kebudayaan Asing. Globalisasi merupakan
proses penting dalam penyebaran budaya dalam masyarakat dunia terutama
Indonesia dengan sitem demokrasinya menjadi negara ini merupakan negara yang
terbuka. Dengan keterbukaan tersebut, masyarakat mudah menerima budaya yang
datang dari luar meski sering terjadi benturan budaya asing dengan budaya
lokal. Masuknya budaya asing inilah salah satu faktor memperkaya budaya dan
membuat masyarakat menjadi masyarakat multikultural.
3.
Faktor Geografis. Selain itu negara kaya rempah-rempah,
Indonesia juga memiliki letak geografis yang strategis yaitu diantara dua benua
dan dua samudra sehingga Indonesia dijadikan sebagai jalur perdagangan
internasional. Karena sebagai jalur perdagangan, banyak negara-negara asing
datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang seperti Cina, India, Arab, dan
negara-negara Eropa. Kondisi inilah memambah budaya yang masuk ke Indonesia dan
terciptanya masyarakat multicultural
4.
Faktor fisik dan geologi. Kalau dilihat dari struktur
geologi Indonesia terletak diantara tigal lempeng yang berbeda yaitu Asia,
Australia, dan Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia menjadi negara
berpulau-pulau dan memiliki beberapa tipe geologi seperti: tipe Asiatis, tipe
peralihan, dan tipe Australis.
2.7 Problem Pendidikan Multikultural di Indonesia
Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih
mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan multikultural di
Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh
negara lain.
Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan
kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem pendidikan
multikultural di Indonesia. Problem pendidikan multikultural di Indonesia
secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu : problem
kemasyarakatan pendidikan multikultural dan problem pembelajaran pendidikan
multikultural.
1. Problem Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural Di Indonesia
Dalam studi sosial,
ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) ini
merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme.
Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya
nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap menekankan kesatuan daripada
keragaman. Bertolak dari kenyataan ini, kini dirasakan semakin perlunya
kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Tetapi, dalam implementasinya
pendidikan multikultural berhadapan dengan beragam problem di masyarakat, yang
menghambat penerapan pendidikan multikultural di dalam ranah pendidikan.
Problem-problem tersebut antara lain :
a.
Keragaman identitas budaya daerah
Keragaman ini menjadi modal
sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah
budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang
multikultural. Namun kondisi neka-budaya itu sangat berpotensi memecah belah
dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecembururuan sosial. Masalah ini
muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi
dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain justru dapat menjadi konflik
dan menghambat proses pendidikan multikultural.
Dalam mengantisipasi hal ini, keragaman yang
ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh
sewajarnya. Selanjutnya diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik
dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya,
termasuk di dalamnya melalui pendidikan multikultural. Dengan adanya pendidikan
multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa saling
mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
b.
Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan
demokratisasi, Indonesia dihadapkan para beragam tantangan baru yang sangat
kompleks. Salah satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya.
Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuatan dari pusat ke daerah membawa
dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa
Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini
tidak lagi.
Kebudayaan, sebagai sebuah
kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan
dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu
bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut
kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu
kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk
menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan
tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi
sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan
agar agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam
membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah asas kesetaraan dan persamaan.
Namun bila isu ini terus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh
isu kedaerahan yang sempit. Oleh karena itu, pendidikan multikultural merupakan
sesuatu yang urgen untuk mengurai pandangan-pandangan yang sempit mengenai isu
kedaerahan sehingga timbul toleransi dan harmonisasi.
c. Kurang
kokohnya nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan
adanya kekuatan yang menyatukan (integrating
force) seluruh pluraritas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara berfungsi sebagai integrating force.
Saat ini Pancasila kurang
mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin
semarak.
Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan
orang dengan menyamakan antara Pancasila dengan ideologi Orde Baru yang harus
ditinggalkan. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya
tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang perlu dikembangkan.
Nasionalisme perlu ditegakkan
namun dengan cara-cara yang edukatif, persusif dan manusiawi bukan dengan
pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peraran Pancasila yang kokoh
untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme
yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yag dapat memecah persatuan dan
kesatuan bangsa. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat menjadi jalan
untuk memperkokoh nasionalisme dalam koridor keragaman bangsa yang majemuk ini.
d. Fanatisme sempit
Fanatisme dalam arti luas memang
diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap bahwa
kelompoknya yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi.
Gejala fanatisme sempit yang
banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di masyarakat. Gejala bonek (bondo
nekat) di kalangan supporter sepak bola nampak menggejala di tanah air.
Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang
berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta
maka hal ini tidak sehat. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama
(misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah) maka akan dapat
menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. Di sini pendidikan
multikultural memiliki peran yang penting sebagai wahana peredam fanatisme
sempit. Karena di dalam pendidikan multikultural terkandung ajaran untuk
menghargai seseorang atau kelompok lain walaupun berbeda suku, agama, rasa atau
golongan.
e. Konflik
kesatuan nasional dan multikultural
Ada tarik menarik antara
kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin
mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional.
Namun dalam penerapannya, bangsa Indonesia pernah mengalami konsep stabilitas
nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik
tertentu.
Adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah
menjadi tekanan dan pengerahan kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan
perasaan antipasti terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi
ancaman bagi integrasi bangsa.
Di sisi
multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah
pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua
Merdeka) di Papua. Oleh karena itu pendidikan multikultural diharapkan dapat
menjembatani berbagai perbedaan ini agar tidak terjadi benturan antara kesatuan
nasional dan multikultural.
f. Kesejahteraan
ekonomi yang tidak merata di antara kelompok budaya
Kejadian yang nampak bernuansa
SARA seperti Sampit beberapa tahun yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat
dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial
ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air
yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan
ekonomi.
Orang akan dengan mudah
terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi
mendera mereka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-kelompok
mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Jadi,
adanya tekanan ekonomi memaksa orang untuk bertindak destruktif. Berangkat dari
hal ini, pendidikan multikultural diharapkan dapat mendidik seseorang untuk
berperilaku menurut aturan yang berlaku. Selain itu, pendidikan multikultural
diharapkan dapat mengajarkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai di masyarakat
karena di masyarakat terdiri dari beragam lapisan, seperti si kaya dan si
miskin atau golongan borjuis dan proletar. Untuk itu pendidikan multikultural
perlu diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain, tidak
peduli dari lapisan mana seseorang itu berasal.
2. Problem Pembelajaran Pendidikan
Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural yang
akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan ternyata tidak terlepas dari berbagai
problem yang menghambatnya. Selain problem kemasyarakatan, pendidikan
multikultural juga tidak lepas dari problem dalam proses pembelajarannya. Dalam
kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran berbasis budaya dapat mendorong
terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif, dan sadar budaya.
Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis
budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap
komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.
Beberapa
permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya (multikultural) pada tahap
persiapan awal, antara lain :
Ø Guru kurang
mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik.
Ø Guru kurang
menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama
dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya.
Ø Rendahnya
kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat,
ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya
masing-masing dalam konteks budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman
belajar yang diperoleh.
Pada kenyataannya berbagai
dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam
proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya
sangat beragam, antara lain :
a.
Masalah seleksi dan integrasi isi (content
selection and integration) mata pelajaran
Implementasi pendidikan
mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi dan integrasi isi mata
pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa ketidakmampuan
guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran.
Selain itu masih banyak guru yang belum dapat mengintegrasikan budaya lokal
dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran menjadi kurang
bermakna bagi peserta didik.
Untuk mengatasi problem di atas,
guru harus memiliki pengetahuan budaya yang memadai. selain itu diperlukan
sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih metode atau materi
pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi tentang perbedaan
etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan sentuhan warisan budaya sehingga
dapat memotivasi peserta didik mendalami akar budayanya sendiri dan akan
menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga dapat
menggunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan
integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas.
b. Masalah “proses mengkonstrusikan pengetahuan” (the knowledge construction process)
Selain masalah seleksi dan
integrasi isi mata pelajaran, masalah proses mengkonstruksi sebuah pengetahuan
dapat menjadi problem bagi pendidikan mutikultural.
Jika peserta didik terdiri dari
berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan dapat memunculkan kesulitan
tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan yang berlandaskan atas
dasar perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali muncul kesulitan dalam
menentukan aspek budaya mana yang dapat dipilih untuk membantu peserta didik
memahami konsep kunci secara tepat.
Selain itu, guru juga masih
banyak yang belum dapat menggunakan frame
of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya dari perspektif
ilmiah. Hal ini terkait kurangnya pengetahuan dari guru tentang keragaman
budaya.
Problem lain yang dapat muncul
adalah munculnya bias dalam mengembangkan perspektif multikultur untuk
mengkonstruksi pengetahuan. Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya
diskriminasi dalam pemberian materi pelajaran sehingga hanya memunculkan satu
kelompok atau golongan tertentu yang menjadi pokok bahasan pembelajaran.
c.
Masalah mengurangi prasangka (prejudice
reduction)
Salah satu masalah lain yang
muncul dalam pembelajaran mutikultural adalah adanya prasangka dari peserta
didik terhadap guru bahwa guru tertentu cenderung mengutamakan unsur budaya
kelompok tertentu. Selain itu, guru belum dapat mengusahakan kerjasama (cooperation) dan pengertian bahwa
strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah
kebersamaan. Oleh karena itu guru harus mengusahakan bagaimana agar peserta
didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi
tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan budaya tertentu.
Contoh, jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk
pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu
mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali), Dawala
dan Bawok (pesisir utara Jawa).
Dengan mengambil contoh yang
sepadan, guru dapat menghindari prasangka bahwa dia mengutamakan unsur budaya
tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling
memperkaya unsur budaya masing-masing.
d.
Masalah kesetaraan paedagogi (equity
paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru
terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak
sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur
budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka
sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki
“khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu. Misalnya
jika menerangkan tentang kesenian teater, guru dapat menyebutkan dan
mengidentifikasi beragam kesenian dari berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa
Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta).
Konklusinya,
penerapan pendidikan mutikultural di Indonesia masih mengalami berbagai problem
atau masalah, yang dapat diidentifikasi menjadi dua problem utama yaitu problem
kemasyarakatan dan problem pembelajaran pendidikan mutikultural.
2.8 Tantangan dalam pendidikan multikultural
Pendidikan
multikultural masih dianggap terdapat banyak hal yang kontroversial. Salah
satunya bahwa pendidikan multikultural itu bersifar memecah belah, menumbuhkan rasa kesukuan yang
berlebihan, menurunkan kebudayaan umum, munculnya Menara Babel, mengubah
sejarah dan mengganggu kesatuan masyarakat atau pernyataan bahwa pendidikan
multikultural tidak sesui dengan jiwa nasionalisme.
1. Implementasi Pendidikan Multikultural
Dalam
pembahasan pendidikan multikultural di Asia Tenggara perlu diingat bahwa
penerapannya tergantung pada kondisi sejarah dan sosial, ekonomi dan politiknya
yang unik. Para pemimpin pemerintahan kurang memajukan tujuan-tujuan pendidikan
multikultural seperti penerapan semua perbedaan, demokrasi, keikutsertaan dalam
politik, otonomi, dan penghilangan diskriminasi, meskipun tujuan-tujuan
tersebut dirasakan menjadi ancaman bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik
negara.
Memperhatikan
dari kajian yang telah ada, implemetasi pendidikan multikultural setidaknya
membutuhkan reformasi dari seluruh sistem pendidikan yang ada. Bannet
menyatakan bahwa karakteristik berbeda dari kurikulum multikultural juga harus
memuat artikulasi konsep nilai utamanya yang disebut dengan nilai dan tujuan yang
global dan multikultural.Selain itu,
dibutuhkan
juga adanya komponen sekolah multikultural yang terdiri dari peraturan
multikultural, staf sekolah yang secara kebudayaan berbeda, perilaku dan
harapan staf yang positif, strategi pengajaran dan materi pengajaran pengajaran
yang tepat, keterlibatan orang tua, dan monitoring yang terus menerus.
Untuk dapat
menguasai kualifikasi multikultural yang ideal semacam itu, para pendidik perlu
untuk dilatih dalam institusi yang relefan; yang juga dibutuhkan oleh para
pelaksana bidang pendidikan dan penulis buku teks serta materi pengajaran
lainnya. Kenyataan bahwa upaya pengenalan pendidikan multikultural merupakan
hal yang sangat mahal, untuk menjadi efektif hal ini membutuhkan banyak dana
dan sumber daya yang mana kebanyakan dari negara-negara Asia Tenggara tidak
sanggup untuk mencukupinya.
Terdapat
halangan dalam penerapan pendidikan multikultural, diantanya
bahwa tujuan yang hendak dicapai acapkali dibelokkan oleh pemegang kekuasaan
suatu negara, dikarenakan adanya ketakutan akan membahayakan ideologi ataupun
dalam hal keuntungan material. Selain itu, acapkali muncul permasalahan
komunikasi seperti peraturan pendidikan yang baru sering disalahartikan atau kurang
dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Permasalahan lain terdapat pada
bahwa kurikulum yang ada jarang dilakukan proses evaluasi dan monitoring yang
terus-menerus dan teliti.
Dengan
adanya permasalahan di atas dan dorongan agar tidak terjadi kesalahan penerapan
kurikulum baru, maka kurikulum rancangan dari institusi pendidikan Indonesia
telah berulang mengubah kurikulum utamanya setelah terjadi perubahan rezim
kekuasaan.
2. Dasar Multikultural bagi Masyarakat Indonesia
Dengan
jumlah populasi sekira 226 juta di dalamnya terdapat 300 kelompok etnis dan
bahasa yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai masyarakat multikultural danœnegara
kepulauan terbesar di dunia. Dari jumlah tersebut, terdapat 14 kelompok etnis
utama dan 4 agama dunia. Keragaman itu juga muncul dalam hal masyarakat
pedesaan tradisional, masyarakat pantai dan suku berdampingan dengan masyarakat
metropolis yang juga terdiri dari orang-orang berorientasi pada kebudayaan
modern atau pos-modern. Perpindahan penduduk, perdagangan dan pariwisata
internasional, pertukaran kebudayaan dengan kelompok etnis dan agama lain,
dll., juga makin menambah nilai multikultural yang terkadang berujung pada
ancaman ekonomi, perpecahan politik dan sosial, kompetisi dan bahkan konflik
berdarah.
3. Situasi Pasca Era-Soeharto
Colombijn
dan Lindblad (2002) menyebut Indonesia sebagai negara kekerasan yang berdasarkan
pada observasinya, Indonesia benar-benar telah mengalami tingkat kekerasan yang
parah akhir-akhir ini. Pemberian hak otonomi pada kotamadya atau kabupaten
semenjak tahun 2000 juga menjadi sumber perpecahan horizontal. Dan pengembangan
daerah pemerintahan baru semakin menebalkan rasa primordialisme masyarakat akan
daerah atau propinsinya yang pada akhirnya akan melemahkan integrasi
bangsa dan negara Indonesia.
4. Situasi Pendidikan Sekarang
Faktor Luar yang Mempengaruhi
Semenjak
kemerdekaan Indonesia telah terjadi berulang kali perubahan kurikulum, bukan
hanya karena perubahan rezim pemerintahan namun juga karena perubahan kabinet.
Selain itu birokrasi dan pemerintahan cenderung menjalankan otoritas untuk
menentukan arah kurikulum sehingga sistem sekolah tidak mempunyai pilihan
kecuali menuruti tekanan eksternal tersebut.
Setelah
kerusuhan 1998, muncul organisasi yang berupaya mengajukan topik yang berkaitan
dengan kepentingan guru dan siswa di sekolah, seperti pendidikan perdamaian,
pendidikan demokrasi, pendidikan gender, serta pencegahan dan penindakan
penyalahgunaan obat dan HIV/AIDS.
Situasi Sekarang
Meskipun
adanya kesamaan dalam sekolah yang ada di seluruh pelosok negeri dari segi
kesamaan sentralisasi, kurikulum top-down, sekolah di Indonesia sangat
beragam dalam hal etnis, agama, jenis kelamin, serta komposisi kelas sosial
siswa dan staf pengajar. Sekolah di pedesaan akan menemui permaslahan yang
berbeda dari sekolah yang ada di perkotaan, demikian juga sekolah yang ada di
daerah konflik.
Saifudin
(2002) dalam kajiannya memberikan alasan lain yang menjadi halangan penerapan
pendidikan multikultural di Indonesia, diantanya: siswa yang bekerja paruh
waktu, guru yang punya pekerjaan sambilan, metode pengajaran satu arah yang
menekankan pada pengingatan, dan birokrasi sekolah yang berorientasi pada
materi dan bantuan keuangan dari badan proyek pengembangan sekolah.
5. Kurikulum Sekolah Usia Dini, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah
Ketika
diadakan evaluasi pada buku teks sekolah, rancangan materi dan juga butir-butir
pada soal ujian nasional, ditemukan banyak indikasi yang mengarah pada
pentingnya pendidikan multikultural. Isi dari materi itu seringkali menunjukkan
adanya bias dalam etnis, agama, dan gender dari sisi penulis. Seperti,
seringkali kita mendapati bias agama dan etnis pada pemilihan nama
dalam teks dan ilustrasi, bias gender dalam hal gambaran peranan
masing-masing gender, dan bias perkotaan dan pedesaan dalam
penggambaran kejadian, tempat, dan organisasi.
Mengingat
hal itu, kemudian para penulis telah menunjukkan perhatiannya pada perbedaan
masyarakat. Meskipun mereka telah menyebutkan toleransi antar-agama dalam
materinya, secara keseluruhan masih dirasakan terbatas pada pengetahuan tentang
nama, kejadian, peranan dll. yang oleh Derman-Sparks menyebutnya multikultural wisata dan Bank menyebutnya
pendekatan kontribusi. Pendekatan kontribusi ini fokus pada pahlawan, hari
libur, dan elemen budaya yang berbeda.
6. Kurikulum di Pendidikan Tinggi
Pengajaran
keragaman kebudayaan di pendidikan tinggi jauh lebih kompleks (Sunarto, 2002).
Meskipun pendekatan pengajaran tradisional yang ada mampu meningkatkan
keterampilan kognitif, hal ini tidak mampu mencukupi bahwa kebutuhan untuk
mengetahui dan memahami informasi yang detail mengenai kelompok yang berbeda
akan berujung pada hasil afeksi dan psikomotor seperti berkurangnya
diskriminasi, prasangka, dan penggambaran terhadap anggota kelompok lainnya. Ada
satu hal untuk mengembangkan pengetahuan dan kesadaran akan persamaan manusia
dan yang lainnya untuk menumbuhkan empati. Pengetahuan itu perlu namun bukanlah
unsur yang cukup(Bennett, 1999:287).
7. Ketertarikan pada Pendidikan Multikultural
Di tengah
perkembangan sosial dan politik yg di dalamnya masih berkaitan dengan manajemen
konflik yang beragam dan aktifitas resolusi konflik,
mulai nampak
adanya ketertarikan pada pendidikan multikultural. Konsep ini menarik hati para
pelajar, pendidik, birokrat, dan LSM untuk membahasnya adalam seminar,
perkuliahan, dan lokakarya.
Amandemen
pada Undang-Undang Dasar sejak 1999 telah dihasilkan pengenalan dalam beberapa
ayat yang menjadi pondasi dasar untuk implementasi pendidikan multikultural.
Undang-undang Dasar sekarang ini terdapat sebuah pasal tentang hak asasi
manusia yang terdiri dari 10 ayat yang menjamin hak perlindungan kebebasan dari
ancaman diskriminasi untuk alasan apapun, dan penghormatan atas identitas
kebudayaan dan hukum masyarakat tradisional.
8. Perubahan Kurikulum Nasional dan Pendidikan Multikultural Mendatang
Di tahun
2004 diberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi di semua sekolah anak usia
dini, dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Evaluasi isi dari kurikulum ini
mengindikasikan bahwa porsi yang signifikan dari materi pengetahuan sosial akan
dicurahkan pada dasar multikultural masyarakat Indonesia. Pusat Kurikulum
(Puskur) menyatakan bahwa pendidikan multikultural
menjadi prinsip dalam pengembangan kurikulum ini.
Salah satu
kompetensi sosial yang diharapkan adalah
untuk menilai perbedaan sosiobudaya dalam kehidupan sosial. Dalam
rancangan materi yang ada di sekolah menengah atas, kata multikultural secara
eksplisit disebutkan; siswa diharapkan untuk
melakukan investigasi berkaitan dengan bentuk suatu masyarakat
multikultural, untuk menunjukkan hasil investigasi berkaitan dengan bentuk
suatu masyarakat multikultural, untuk menunjukkan sikap dan perilaku yang
diharapkan dari anggota suatu masyarakat multikultural.
9. Pendidikan Multilingual
Nampak tidak
ada kesusahan ketika siswa masuk ke dunia sekolah harus menggunakan bahasa standar
(Bahasa Indonesia) sebagai bahasa pengantar pengjaran yang berbeda dengan
bahasa keseharian mereka. Oleh karena itu masih dirasa kurang perlu adanya pendidikan
untuk kelompok yang berbeda secara budaya
ataupun pendidikan dengan
penyesuaian dan ketentuan khusus demi kebutuhan kebudayaan minoritas.
Namun
acapkali masih ditemukan permasalahan ketika siswa dan guru berasal dari latar
belakang sosial atau budaya yang berbeda; dan juga permasalahan dari kebudayaan
asli (perbedaan dalam penggunaan bahasa, intonasi,
interpretasi makna suatu kata.)
Keefektifan pendidikan multikultural di sekolah bergantung
pada beberapa faktor; diantaranya:
Dukungan Keuangan
Tantangan
paling utama untuk pelaksanaan pendidikan multikultural secara nasional adalah
dibutuhkannya dukungan finansial yang memadai. Persaingan untuk mendapatkan
akses pada sumber daya pendidikan yang sangat terbatas dihadapi oleh seluruh
tingkatan dari kementerian hingga sekolah.
Sosialisasi untuk Pendidik dan Penyelenggara Pendidikan
Tantangan
utama selanjutnya adalah bahwa proses sosialisasinya perlu melibatkan seluruh
pihak berkepentingan yang relefan pada tingkat makro, meso, hingga mikro di
semua sistem pendidikan. Lebih diperparah dengan adanya pemahaman yang kurang,
terlalu luasnya interpretasi makna, dan resistensi dari pihak yang
berkepentingan.
Dukungan
semua pihak sangat diperlukan. Perlu adanya pelatihan bagi para guru guna
membiasakan siswanya dengan strategi pendidikan multikultural. Sumber materi
pengajaran harus bebas dari adanya bias, sehingga menuntut para
penulis buku teks untuk memahami dan mengadopsi perspektif multikultural. Perlu
dimiliki juga perilaku dan keterampilan multikultural yang dibutuhkan untuk
kesuksesan implementasi kurikulum yang mana guru diberikan rancangan/kerangka
materi dan sillabus namun harus mengembangkan sebuah materinya sendiri sesuai
dengan kreatifitas dan inovasinya serta menggunakan buku teks pemerintah maupun
bukan sebagai referensi materi.
Kurikulum Multikultural
Meskipun
terdapat perencanaan untuk saling menghubungkan dan mengintegrasikan materi
pelajaran, akan tetapi kurikulum yang baru ini belum menyiratkan adanya inklusifisme
secara multikultural.
Dalam
kurikulum yang inklusif, topik dan pemikira yang berkaitan dengan multikultural
tidak dibatasi pada rancangan materi pelajaran tertentu, namun dimasukkan ke
seluruh kurikulum.
Idealnya,
pendidikan multikultural yang inklusif tidak hanya terbatas pada kurkulum
formal akan tetapi harus ditanamkan dalam keseluruhan kebudayaan sekolah.
Possidento (1980) menyebutnya sebagai kurikulum tersembunyi tidaklah akademis
akan tetapi mempunyai konsekuensi penting untuk pendidikan di sekolah yang
terjadi secara sistematis namun tidak dibuat ekplisit pada tingkat rasional
publik bagi pendidikan.
Perbedaan Sosial dan Budaya
Perbedaan
dalam akses ke sekolah, mendapatkan pendidikan, dan pencapaian pendidikan
berkaitan dengan kelas sosial, gender, dan tempat tinggal, meskipun adanya
hubungan yang mungkin dengan etnis dan agama tertentu tidak perlu untuk
diteliti lebih lanjut. Peraturan multikultural berdasarkan pada keadaan
historis masing-masing negara. Oleh karena itu dimensi penghilangan prasangka
terhadap pendidikan multikultural perlu ditingkatkan; Bank (2002) menunjukkan
bagaimana sikap dan perilaku diskriminasi terhadap anggota kelompok yang lain
dan bagaimana sikap dan perilaku tersebut dapat diubah melalui penggunaan
metode dan materi pengajaran.
Keterlibatan Pihak Lain yang Berkepentingan
Tibbs (2002)
mengidentifikasikan kurangnya dukungan dari orang tua dan masyarakat sebagai
tantangan yang penting, sehingga menuntut adanya program advokasi. Banyak
organisasi kemasyarakatan telah memberikan dukungan terhadap aktifitas
peningkatan perdamaian termasuk hal-hal yang berkaitan dengan isu
multikultural; hal tersebut telah memberikan kontribusi yang berarti bagi
pelatihan pendidik multikultural di masa mendatang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
pendidikan multikultural cukup
berkaitan erat dengan budaya, dalam kata multikultural berarti kita membahas
mengenai keanekaragaman kebudayaan yang ada di indonesia dan dapat di artikan
sebagai pengakuan atas pluralisme budaya, oleh karena itu pendidikan
multikultural cukup memberikan kita pengetahuan yang lebih luas bahwa budaya
sangat bebrperan penting dalam pendidikan. Di zaman modern seperti ini masih
terdapat pihak yang menilai pendidikan dari budaya yang selama ini berlaku di
kalangan mereka.
Saran
Di indonesia terdapat berbagai macam
suku dan budaya, dan kemungkinan besar sebagian di antaranya menilai atau
melihat pendidikan dari sisi budaya, di harapkan dalam pendidikan
multikultural, penerus-penerus bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, tidak terikat dengan sistem kebudayaan yang
berlaku di kalangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:http://riskyariyani91.wordpress.com/2012/01/04/ringkasan-materi-sosiologi-kelas-xi-semester-2-bab-6
Gorski, Paul. 2001. Six Critical Paradigm Shiifd
For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, http/www.
Edchange.org/multicultural, diakses tanggal 1 Juli 2011.
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional.
Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rajawali.
Tilaar, H.A.R.. 2004. Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global
Masa Depan Dalam Trasformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo