Senin, 01 Januari 2018

PIP



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah
Bila kita amati, agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat di bumi ini. Namun, realitanya agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran umat manusia.  Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
Pendidikan multikultural juga dapat memberikan kita pengetahuan tentang pentingnya pendidikan bagi penerus-penerus bangsa kedepannya, agar tidak melihat dan menjalankan pendidikan dari sisi budaya, yang terkadang kurangnya dukungan dari pihak keluarga atau pihak-pihak yang lainnya.

1.2    Rumusan masalah
1.    Apa yang di maksud dengan pendidikan Multikultural ?
2.    Mengapa pendidikan multikultural berpengaruh terhadap pendidiakan dalam negeri ?
3.    Bagaimana dampak pendidikan multikultural terhadap  pendidikan saat ini ?
4.    Siapa saja pelaku pendidikan multikultural ?
5.    Di mana peranan pendidikan multikultural ?
6.    Kapan pendidikan multikultural ini dapat berkembang ?



1.3    tujuan penulisan
makalah ini di buat dan di tulis agar penulis dapat mengetahui dan menjelaskan hal-hal apa saja yang tekait dalam pendidikan multikultural, juga agar dapat di ketahui dan di mengerti oleh kalangan-kalangan lainnya.

























BAB II
PEMBAHASAN
          2.1 Pengertian Pendidikan multikultural
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Multikultural berarti berenekaragam kebudayaan. Multikulturalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan atas pluralisme budaya. Akar dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Multikulturalisme adalah berbagai pengalaman yang membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus
Pendidikan multikultural secara etimologis berasal dari dua term yakni pendidikan dan multikulturtal. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara yang mendidik.
Sedangkan istilah multikultural sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan. Kata dasar itu adalah kultur yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau pemeliharaan sedang awalannya adalah multi yang berarti banyak, ragam, aneka. Dengan demikian multikultural berarti keragaman budaya, aneka, kesopanan, atau banyak pemeliharaan. Namun dalam tulisan ini lebih diartikan sebagai keragaman budaya sebagai aplikasi dari keragaman latarbelakang seseorang.
Pendidikan multikultural adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi yang memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada dan dari manapun datangnya (secara ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, keyakinan, atau agama, dan negara).
Pendidikan multikultural secara inhern merupakan dambaan semua orang, lantaran keniscayaannya konsep “memanusiakan manusia”. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya dia akan sangat membutuhkan pendidikan model pendidikan multikultural ini.

Menurut beberapa ahli :
Menurut Paul Gorski pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif untuk mengubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan memusatkan perhatian pada kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif di dalam pendidikan akhir-akhir ini. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi menjadi landasan Pendidikan Multikultural dalam memfasilitasi pengalaman pendidikan agar semua siswa dapat mewujudkan semua potensinya secara penuh dan menjadikannya sebagai manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan global.
H.A.R Tilaar memberikan pengertian pendidikan multikultural sebagai merupakan suatu wacana lintas batas yang mengupas permasalahan mengenai keadilan sosial, musyawarah, dan hak asasi manusia, isu-isu politik, moral, edukasional dan agama.
Ainurrofiq Dawam mengatakan, pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama).
Sedangkan menurut Zubaedi, pendidikan multikultural merupakan sebuah gerakan pembaharuan yang mengubah senua komponen pendidikan termasuk mengubah nilai dasar pendidikan, aturan prosedur, kurikulum, materi pengajaran, struktur organisasi dan kebijakan pemerintah yang merefleksikan pluralisme budaya sebagai realitas masyarakat Indonesia.
         2.2 Tujuan Pendidikan Multikultural
Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpatik, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda.
Imron Mashadi (2009) pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan sebuah bangsa yang kuat, maju, adil, makmur, dan sejahtera tanpa perbedaan etnik, ras, agama, dan budaya. Dengan semangat membangun kekuatan diseluruh sektor sehingga tercapai kemakmuran bersama, memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai bangsa lain. Sutarno (2008:1-24) tujuan pendidikan multikultural mencakup 8 aspek, yaitu:
  1. Pengembangan leterasi etnis dan budaya. Memfasilitasi siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai budaya semua kelompok etnis.
  2. Perkembangan pribadi. Memfasilitasi siswa bahwa semua budaya setiap etnis sama nilai antar satu dengan yang lain. Sehingga memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan orang lain (kelompok etnis) walaupun berbeda budaya masyarakatnya.
  3. Klarifikasi nilai dan sikap. Pendidikan mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia, keadilan, persamaan, dan, dan demokratis.
  4. Sehingga pendidikan multikultural membantu siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai tidak dapat dihindari dalam masyarakat pluralistik.
  5. Untuk menciptakan pesamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial, dan kelompok budaya.
  6. Untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
  7. Persamaan dan keunggulan pendidikan. Tujuan ini berkaitan dengan peningkatan pemahaman guru terhadap bagaimana keragaman budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan penyelenggaraan pendidikan. Keragaman budaya berpengaruh pada pola sikap dan perilaku setiap individu. Sehingga guru harus mampu memahami siswa sebagai individu yg memiliki ciri unik dan memperhitungkan lingkungan fisik dan sosial yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.
  8. Memperkuat pribadi untuk reformasi sosial. Pendidikan multikultural memfasilitasi peserta didik memiliki dsan mengembangkan sikap, nilai, kebiasaan, dan keterampilan sehingga mampu menjadi agen perubahan sosial yang memiliki komitmen tinggi dalam reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparaties) etnis dan rasial.
  9. Memiliki wawasan kebangsaan atau kenegaraan yang kokoh.
Hasil yang diharapkan Pendidikan Multikultural terlihat pada definisi, justifikasi, asumsi, dan pola-pola pembelajarannya. Ada banyak variasi tujuan khusus dan tujuan umum Pendidikan Multikultural yang digunakan oleh sekolah sesuai dengan faktor kontekstual seperti visi dan misi belakang sekolah, siswa, lingkungan sekolah, dan perspektif. Tujuan Pendidikan Multikultural dapat mencakup tiga aspek belajar (kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik nilai-nilai intrinsik (ends) maupun nilai instrumental (means) Pendidikan Multikultural. Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup :
      1.   Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam program sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum. Pertama, kita harus memberi informasi pada siswa tentang sejarah dan kontribusi dari kelompok etnis yang secara tradisional diabaikan dalam kurikulum dan materi pembelajaran, kedua, kita harus menempatkan kembali citra kelompok ini secara lebih akurat dan signifikan, menghilangkan bias dan informasi menyimpang yang terdapat dalam kurikulum.

Yang dimaksud dengan informasi menyimpang ini adalah informasi yang salah tentang sistem nilai dan budaya dari etnis tertentu atau melihat sistem nilai budaya mereka dari sudut pandang kelompok lain. Siswa masih terlalu sedikit mengetahui tentang sejarah, pewarisan, budaya, bahasa, dan kontribusi kelompok masyarakat yang beragam dari bangsanya sendiri.
Jadi, tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompoketnis mayoritas dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analistis, dan komparatif, dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada.
Tujuan ini cocok untuk mayoritas siswa maupun kelompok minoritas etnis. Kesalahan yang sering dibuat adalah menganggap bahwa anggota kelompok etnis minoritas telah mengetahui budaya dan sejarahnya atau bahwa jenis pengetahuan ini hanya relevan untuk mereka, bukan untuk kami. Pendidikan Multikultural berargumentasi sebaliknya. Keanggotaan kelompok etnis tidak menjamin pengetahuan diri atau pemilikan pengetahuan tentang kelompok itu.
Orang yang berasal dari Jawa tidak otomatis mengetahui budaya Jawa. Orang Bali tidak otomatis mengetahui keyakinan dan budaya yang ada di daerahnya.
Mempelajari sejarah, kehidupan, dan budaya kelompok etnis cocok untuk semua siswa karena mereka perlu belajar lebih akurat tentang warisan budayanya sendiri maupun budaya orang lain. Lebih dari itu, pengetahuan tentang pluralisme budaya merupakan dasar yang diperlukan untuk menghormati, mengapresiasi, menilai dan memperingati keragaman, baik lokal, nasional dan internasional.

2.    Perkembangan Pribadi
Dasar psikhologis Pendidikan Multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Penekanan bidang ini merupakan bagian dari tujuan Pendidikan Multikultural yang berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa.
Siswa merasa baik tentang dirinya sendiri karena lebih terbuka dan reseptif (menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan identitasnyanya. Pendapat ini mendapat justifikasi lebih lanjut dengan temuan penelitian yang berkaitan dengan adanya hubungan timbal balik antara konsep diri, prestasi akademis, identitas individu, etnis dan budaya.
Para siswa telah menginternalisasi konsep negatif dan salah tentang etnisnya sendiri dan kelompok etnis lain. Siswa dari kelompok lain mungkin berpendirian bahwa warisan budayanya hanya memiliki nilai tawar yang kecil, sedangkan nilai yang ada pada kelompok dominan mungkin terlalu ditinggikan. Mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang diri mereka sendiri dan pengalaman budaya dan kelompok etnis yang lain dapat memperbaiki penyimpangan ini. Pendidikan Multikultural juga membantu mencapai tujuan memaksimalkan potensi kemanusiaan, dengan memenuhi kebutuhan individu, dan mengajar siswa seutuhnya dengan mempertinggi rasa penghargaan pribadi, kepercayaan dan kompetensi dirinya. Pendidikan Multikultural menciptakan kondisi kesiapan psikhososial dalam diri individu dan lingkungan belajar yang memiliki efek positif pada upaya dan penguasaan tugas akademis.
3.   Klarifikasi Nilai dan Sikap
Pendidikan Multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia (human dignity), keadilan, persamaan, kebebasan, dan demokrasi.
Maksudnya adalah mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme etnis, menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah diri, dan untuk mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi manusia. Pengklarifikasian sikap dan nilai etnis didesain untuk membantu siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai itu tidak dapat dielakkan dalam masyarakat pluralistik; dan bahwa konflik tidak harus menghancurkan dan memecah belah. Jika kita mengelola dengan baik hal itu akan dapat menjadi katalis kemajuan sosial dan ada kekuatan dalam pluralisme etnis dan budaya; bahwa kesetiaan etnis (ethnic allegiance) dan loyalitas nasional (national loyalty) bukan tidak dapat didamaikan; dan bahwa kerjasama dan koalisi di antara kelompok etnis tidak tergantung pada pemilikan keyakinan, nilai, dan perilaku yang sama. Menganalisa dan mengklarifikasi sikap dan nilai etnis merupakan langkah kunci dalam proses melepaskan potensi kreatif individu untuk memperbarui diri dan masyarakat untuk tumbuh-kembang lebih lanjut.
4.   Kompetensi Multikultural
Penting sekali bagi siswa untuk mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan memahami orang yang secara etnis, ras, dan kultural berbeda dari dirinya. Dunia kita menjadi semakin lebih beragam, kompak, dan saling tergantung. Namun, bagi sebagian besar siswa, awal-awal pembentukan kehidupannya dihabiskan dengan isolasi atau terkurung di daerah kantong secara etnis dan kultural. Kita biasa hidup dalam kantong-kantong budaya yang sempit yang hanya mengenal budaya yang sempit pula.
Peralihan dari generasi ke generasi mengalami penurunan pemahaman akan budaya kita. Nenek kita lebih mengenal budaya daerah kita. Orang tua kita mengalami sedikit pengurangan dalam memahami budayanya. Akhirnya dia mengajarkan nilai-nilai budaya yang tidak utuh itu pada kita. Akhirnya jadilah anak kita yang terkungkung oleh kepicikan budaya yang serba kurang dan menyimpang dari akar budaya yang sesungguhnya. Mungkin kita bukan orang Batak tulen atau Bali tulen yang benar-benar memahami budaya kita. Kita tidak menyiapkan lingkungan dan latar belakang multikultural yang berbeda untuk pembelajaran. Upaya interaksi lintas kultural seringkali terhalang oleh nilai, harapan dan sikap negatif ; kesalahan budaya (cultural blunders); dan dengan mencoba menentukan aturan etiket sosial (rules of social etiquette) dari satu sistem budaya terhadap sistem budaya yang lain. Hasilnya seringkali adalah frustasi, kecemasan, ketakutan, kegagalan dan permusuhan kelompok antarras dan antaretnik.
Pendidikan Multikultural dapat meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas budaya, hubungan antar pribadi, pengambilan perspektif, analisis kontekstual, pemahaman sudut pandang dan kerangka berpikir alternatif, dan menganalisa bagaimana kondisi budaya mempengaruhi nilai, sikap, harapan, dan perilaku.
Pendidikan Multikultural dapat membantu siswa mempelajari bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai yangsemena-mena tentang nilai intrinsiknya. Untuk mencapai tujuan ini anak dapat diberi pengalaman belajar dengan memberi berbagai kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan kompetensi budaya dan berinteraksi dengan orang, pengalaman, dan situasi yang berbeda.
5.   Kemampuan Ketrampilan Dasar
Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi pembelajaran untuk melatih kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang berbeda secara etnis. Pendidikan Multikultural dapat memperbaiki penguasaan membaca, menulis dan ketrampilan matematika; materi pelajaran; dan ketrampilan proses intelektual seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, dan pemecahan konflik dengan memberi materi dan teknik yang lebih bermakna untuk kehidupan dan kerangka berpikir dari siswa yang berbeda secara etnis. Menggunakan materi, pengalaman, dan contoh-contoh sebagai konteks mengajar, mempraktekkan, dan mendemonstrasikan penguasaan ketrampilan akademis dan mata pelajaran dapat meningkatkan daya tarik pembelajaran, mempertinggi relevansi praktis ketrampilan yang dipelajari, dan memperbaiki tempo siswa dalam melaksanakan tugas.
Kombinasi kondisi ini akan membimbing ke arah upya yang lebih terfokus, penguasaan ketrampilan dan prestasi akademis. Misalnya, kita menggunakan sempoa dari etnis Tionghoa untuk melatih ketrampilan di bidang aritmatika.
Aspek lain dari Pendidikan Multikultural yang berkontribusi secara langsung pada level pencapaian ketrampilan dasar yang lebih tinggi adalah kesesuaian dengan gaya belajar dan mengajar. Tidak adanya titik temu dalam bagaimana siswa yang berbeda mempelajari masyarakat budayanya dan bagaimana mereka diharapkan belajar di sekolah menyebabkan banyak waktu dan perhatian dicurahkan pada pemecahan konflik daripada berkonsentrasi dalam tugas akademis itu sendiri. Mengajari siswa supaya biasa belajar meminimalkan konflik ini dan menyalurkan energi dan upaya secara langsung lebih diarahkan pada penyelesaikan tugas akademis. Jadi, pengajaran kontekstual secara kultural dalam melakukan proses pendidikan lebih efektif untuk siswa yang beragam secara etnis menjadi prinsip mendasar dari Pendidikan Multikultural.
Jenis iklim sosial yang ada di kelas juga mempengaruhi kinerja siswa adalam tugas akademis. Pengaruh ini terutama benar untuk kelompok etnis yang mempertimbangkan hubungan sosial dan latar belakang informal untuk proses belajar.
Jika guru merespon kebutuhan ini dengan memasukkan simbol, gambar, dan informasi etnis dalam dekorasi ruang kelas, isi kurikulum dan interaksi interpersonal, maka siswa merasa nyaman dan memiliki afiliasi yang lebih besar dengan sekolah. Perasaan nyaman ini menciptakan latar belakang keterhubungan pribadi yang merupakan esensi rasa kepemilikan dalam belajar yang pada gilirannya lebih membimbing ke arah perhatian, upaya, dan waktu yang lebih terarah pada tugas, dan memperbaiki penguasaan tugas dan prestasi akademik.
6.   Persamaan dan Keunggulan Pendidikan
Tujuan persamaan multikultural berkaitan erat dengan tujuan penguasaan ketrampilan dasar, namun lebih luas dan lebih filosofis. Untuk menentukan sumbangan komparatif terhadap kesempatan belajar, pendidik harus memahami secara keseluruhan bagaimana budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan pendidikan. Mereka harus mengembangkan berbagai alat untuk melengkapi hasil belajar yang menggambarkan preferensi dan gaya dari berbagai kelompok dan individu. Dengan memberi pilihan yang lebih pada semua siswa pilihan tentang bagaimana mereka akan belajar, pilihan yang sesuai dengan gaya budaya mereka, tidak seorang pun akan terlalu dirugikan atau diuntungkan pada level prosedural dari belajar.
Pilihan ini akan membimbing ke paralelisme (misalnya persamaan) dalam kesempatan belajar dan lebih komparatif dalam prestasi maksimum siswa dalam kemampuan intelektualnya.
Aspek lain dari tujuan memasukkan informasi akurat dalam mengajarkan tentang masyarakat adalah mengembangkan rasa kesadaran sosial (a sense of social consciousness), keberanian moral, dan komitmen terhadap persamaan; dan memperoleh ketrampilan dalam aktivitas politik untuk mereformasi masyarakat untuk membuatnya lebih manusiawi, simpatik terhadap pluralisme kultural, keadilan moral, dan persamaan. Oleh karena itu tujuan multikultural untuk mencapai persamaan dan keunggulan pendidikan mencakup kognitif, afektif dan ketrampilan perilaku, di samping prinsip demokrasi (Banks, 1993).
7.   Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial
Tujuan terakhir dari Pendidikan multikultural adalah memulai proses perubahan di sekolah       yang pada akhirnya akan meluas ke masyarakat.
Tujuan ini akan melengkapi penanaman sikap, nilai, kebiasaan dan ketrampilan siswa sehingga mereka menjadi agen perubahan sosial (social change agents) yang memiliki komitmen yang tinggi dengan reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial dalam kesempatan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan komitmen ini.
Untuk melakukan itu, mereka perlu memperbaiki pengetahuan mereka tentang isu etnis di samping mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan, ketrampilan tindakan sosial, kemampuan kepemimpinan, dan komitmen moral atas harkat dan persamaan. Mereka tidak hanya perlu memahami dan mengapresiasi mengapa pluralisme etnis dan budaya itu ada, namun juga bagaimana menterjemahkan pengetahuan kepada keputusan dan tindakan yang berhubungan dengan isu, peristiwa dan situasi sosiopolitis yang esensial.
Tujuan dan pengembangan ketrampilan ini didesain untuk membuat masyarakat lebih benar-benar egaliter dan lebih menerima pluralisme kultural. Juga dimaksudkan untuk menjamin bahwa kelompok etnis dan budaya yang secara tradisional menjadi korban dan terasingkan akan lebih berpartisipasi secara penuh pada semua level masyarakat, dengan semua hak, dan tanggung jawab yang menyertainya. Pendidikan Multikultural berkontribusi secara langsung terhadap warga negara yang demokratis di dalam global village (Swiniarski, 1999). Fungsi multikulturalisme ini adalah apa yang dimaksudkan Banks dengan pendekatan aksisosial dari Pendidikan Multikultural, yang mengajari siswa bagaimana menjadi kritikus sosial (social critics), aktivis politik (political activists), agen perubahan (change agents), dan pemimpin yang berkompeten dalam masyarakat dan yang berbeda secara etnis dan pluralistik secara kultural. Juga sama dengan konsep Grant tentang Pendidikan multikultural untuk rekonstruksi sosial. Pendekatan ini berfokus pada penindasan dan ketidak samaan struktur sosial, dengan perhatian menciptakan suatu masyarakat yang lebih mampu dan melayani kebutuhan dan kepentingan semua kelompok orang. Pendekatan ini membangun penguatan pribadi dengan menetapkan relevansi antara pelajaran sekolah dengan kehidupan sosial, dengan memberi latihan menerapkan pengetahuan dan pengambilan tindakan langsung dengan kehidupannya sendiri, dan mendemonstrasikan kekuatan pengetahuan, upaya kolaboratif, dan aksi politis dalam mempengaruhi perubahan sosial.
Pendidikan Multikultural akan membantu siswa dari berbagai kelompok budaya yang berbeda dalam memperoleh ketrampilan akademik yang dibutuhkan untuk fungsinya di dalam masyarakat yang berpengetahuan (a knowledge society). Pendidikan Multikultural merupakan pendidikan untuk hidup (an education for life) dalam masyarakat yang ber-Pancasila.
Membantu siswa melampaui batas-batas budayanya dan memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk keterlibatannya di dalam wacana publik dengan orang yang berbeda dengan dirinya. Pendidikan Multikultural juga membantu siswa mempelajari ketrampilan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi di dalam tindakan kewarganegaraan (a civic action), yang merupakan bagian integral dari negara yang berlandaskan Pancasila. Pendidikan Multikultural bukan hanya didasarkan pada tradisi demokratis negara, namun memiliki fungsi esensial bagi daya tahan dari suatu tradisi demokratis, pluralistis di abad mendatang (for the survival of a democratic, pluralistic traditions in next century).
8.   Memiliki wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh
Dengan mengetahui kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh rasa kebangsaan yang kuat. Rasa kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang dalam wadah negara Indonesia yang kokoh. Untuk itu Pendidikan Multikultural perlu menambahkan materi, program dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.

9.   Memiliki wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga dunia.
Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen). Namun siswa harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya. Mahasiswa diajak berpikir secara internasional dengan mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di sekitarnya – act locally and globally.
10.  Hidup berdampingan secara damai.
Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan menghargai persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain dan pada gilirannya dapat hidup berdampingan secara damai.
      2.3 Prinsip-prinsip Pendidikan Multikultural
Terdapat tiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan oleh Tilaar, antara lain sebagai berikut:
  1. Pendidikan multikultural didasar pada pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy).
  2. Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas dan mengembangkan pribadi-pribadi Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya.
  3. Prinsip globalisasi tidak perlu ditakuti apabila bangsa ini arah serta nilai-nilai baik dan buruk yang dibawanya.
     2.4 Dasar Pendidikan Multikultural
Berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk membentuk negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultur ini adalah Pendidikan Multikultural.
Sebagaimana disebutkan di atas, Pendidikan Multikultural paling tidak menyangkut tiga hal yaitu (1) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (2) gerakan pembaharuan pendidikan dan (3) proses. Berikut ini akan diuraikan dasar yang membentuk perlunya Pendidikan Multikultur.

          (1)   kesadaran nilai penting keragaman budaya
Perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan Multikultural berkaitan dengan ide bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya perbedaan itu perlu kita terima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi agar kita bisa hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsur yang berbeda itu untuk membeda-bedakan.
Matakuliah Pendidikan Multikultural ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis kegiatan pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan universal. Di dalamnya akan dibahas kebudayaan yang teraktualisasi secara internasional, regional, dan lokal sepanjang sejarah kemanusiaan. Kegiatan pendidikan sebagai interaksi sosio-kultural paedagogis di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh suku bangsa Indonesia, tapi berbagai bangsa. Di dalam Pendidikan Multikultural ini akan diungkap pula aktivitas paedagogis masa lalu, masa kini dan masa depan di berbagai belahan dunia dengan fokus kebudayaan Indonesia.

          (2)   Gerakan pembaharuan pendidikan
Ide penting yang lain dalam Pendidikan Multikultural adalah bahwa sebagian siswa karena karakteristik tersebut di atas, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di sekolah favorit tertentu sedangkan siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu.
Beberapa karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok siswa untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara halus. Dalam arti, dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh golongan yang lain. Kita perhatikan di lingkungan sekitar kita. Ada kesenjangan ketika muncul fenomena sekolah favorit yang didominasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan lembaga yang mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa masuk dalam kelompok sekolah favorit itu.

Ada kebijakan yang dipandang tidak adil bagi golongan Tionghoa karena ada diskriminasi terhadap kelompok mereka sehingga mereka hanya berkecimpung di bidang yang sangat terbatas, misalnya dagang, pengacara, dokter dan mengalami kesulitan berkarier di bidang ketentaraan dan pemerintahan.
Mereka dan sebagian warga negara asing lainnya sulit mendapatkan status kewarganegaraan bagi anak-anak mereka sebelum tahun 2006. Ada keluhan di kalangan atlit bulutangkis untuk dimasuki golongan pribumi karena sudah didominasi oleh warga keturunan Cina. Warga dari Suku Anak Dalam di Lampung kurang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang memadai karena karakteristik budaya mereka yang unik dan tinggal di daerah pedalaman.
Pendidikan Multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program, dan praktek yang direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan dan aspirasi berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan Grant dan Sleeter, Pendidikan Multikultur bukan sekedar merupakan praktek aktual satu bidang studi atau program pendidikan semata, namun mencakup seluruh aspek pendidikan. Pada unit selanjutnya, akan dibahas mengenai hal ini.
          (3)   proses pendidikan.
Pendidikan Multikultural juga merupakan proses (pendidikan) yang tujuannya tidak akan pernah terrealisasikan secara penuh. Pendidikan Multikultural adalah proses menjadi. Pendidikan Multikultural harus dipandang sebagai suatu proses yang terus-menerus (an ongonging process), dan bukan sebagai sesuatu yang langsung bisa tercapai. Tujuan utama dari Pendidikan Multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar meningkatkan skor.
Persamaan pendidikan, seperti juga kebebasan dan keadilan, merupakan ide umat manusia yang harus dicapai dengan perjuangan keras namun tidak pernah dapat mencapainya secara penuh. Ras, gender, dan diskriminasi terhadap orang yang berkebutuhan akan tetap ada sekalipun kita telah berusaha sekeras mungkin menghilangkan masalah ini. Jika prasangka dan diskriminasi dikurangi pada suatu kelompok, biasanya keduanya terarah pada kelompok lain atau mengambil bentuk yang lain. Karena tujuan Pendidikan Multikultur tidak akan pernah tercapai secara penuh, kita seharusnya bekerja secara kontinyu meningkatkan persamaan pendidikan untuk semua siswa (educational equality for all students).
Sejalan dengan pemikiran dari Banks di atas, Gorski menyimpulkan bahwa sejak konsep paling awal muncul pada tahun 1960-an, pendidikan multikultural telah berubah, difokuskan kembali, dan dikonseptualisasikan kembali. Pendidikan multikultural berada di dalam kondisi perubahan baik teoritis maupun praktek sehingga jarang ada dua pengajar atau ahli pendidikan yang memiliki definisi yang sama tentang pendidikan multikultural.
Seperti halnya dalam suatu dialog pendidikan, individu cenderung mengubah konsep untuk disesuaikan dengan fokus tertentu.
Beberapa di antaranya membahas pendidikan multikultural sebagai suatu perubahan kurikulum, mungkin dengan menambah materi dan perspektif baru. Yang lain berbicara tentang isu iklim kelas dan gaya mengajar yang dipergunakan kelompok tertentu. Yang lain berfokus pada isu sistem dan kelembagaan seperti jurusan, tes baku, atau ketidak cocokan pendanaan antara golongan tertentu yang mendapat jatah lebih sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Yang lain lagi melihat perubahan pendidikan sebagai bagian dari perubahan masyarakat yang lebih besar di mana kita mengeksplorasi dan mengkritik dasar-dasar kemasyarakatan yang menindas dan bagaimana pendidikan berfungsi untuk memelihara status quo – seperti di Amerika Serikat yang terlalu berpihak pada supremasi kulit putih, kapitalisme, situasi sosio-ekonomi global dan eksploitasi.
 kesempatan yang sama bagi setiap siswa untuk mewujudkan potensi sepenuhnya, penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar budaya,  penyiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi setiap siswa secara efektif, tanpa memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan dirinya,  partisipasi aktif sekolah dalam menghilangkan penindasan dalam segala bentuknya.

           2.5 Fungsi Pendidikan Multikultural
The National Council for Social Studies (Gorski, 2001) mengajukan sejumlah fungsi yang menunjukkan pentingnya keberadaan dari Pendidikan Multikultural. Fungsi tersebut adalah :
1.  memberi konsep diri yang jelas.
2.  membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya.
3.  membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat.
4.  membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi sosial dan ketrampilan kewarganegaraan (citizenship skills).
5.  mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa
Pendidikan Multikultural memberi tekanan bahwa sekolah pada dasarnya berfungsi mendasari perubahan masyarakat dan meniadakan penindasan dan ketidak adilan.
Fungsi pendidikan multikultural yang mendasar adalah mempengaruhi perubahan sosial.
     Jalan di atas dapat dirinci menjadi tiga butir perubahan :
1.    perubahan diri
2.    perubahan sekolah dan persekolahan
3.    perubahan masyarakat
Perubahan diri dimaknai sebagai perubahan dimulai dari diri siswa sendiri itu sendiri yang lebih menghargai orang lain agar dia bisa hidup damai dengan sekelilingnya.
Kemudian diwujudkan dalam tata tutur dan tata perlakunya di lingkungan sekolah dan berlanjut hingga di masyarakat. Karena sekolah merupakan agen perubahan, maka diharapkan ada perubahan yang terjadi di masyarakat seiring dengan terjadi perubahan yang terdapat dalam lingkungan persekolahan. (Gorski, 2001).

         2.6 Faktor Penyebab Masyarakat Multikultural di Indonesia 
1.    Faktor Sejarah Indonesia. Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah terutama dalam hal rempah-rempah. Sehingga banyak negara-negara asing ingin menjajah seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Dengan demikian mereka tinggal dalam jangka waktu yang lama bahkan ada yang menikah dengan bangsa Indonesia.
2.    Faktor Pengaruh Kebudayaan Asing. Globalisasi merupakan proses penting dalam penyebaran budaya dalam masyarakat dunia terutama Indonesia dengan sitem demokrasinya menjadi negara ini merupakan negara yang terbuka. Dengan keterbukaan tersebut, masyarakat mudah menerima budaya yang datang dari luar meski sering terjadi benturan budaya asing dengan budaya lokal. Masuknya budaya asing inilah salah satu faktor memperkaya budaya dan membuat masyarakat menjadi masyarakat multikultural.
3.    Faktor Geografis. Selain itu negara kaya rempah-rempah, Indonesia juga memiliki letak geografis yang strategis yaitu diantara dua benua dan dua samudra sehingga Indonesia dijadikan sebagai jalur perdagangan internasional. Karena sebagai jalur perdagangan, banyak negara-negara asing datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang seperti Cina, India, Arab, dan negara-negara Eropa. Kondisi inilah memambah budaya yang masuk ke Indonesia dan terciptanya masyarakat multicultural
4.    Faktor fisik dan geologi. Kalau dilihat dari struktur geologi Indonesia terletak diantara tigal lempeng yang berbeda yaitu Asia, Australia, dan Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia menjadi negara berpulau-pulau dan memiliki beberapa tipe geologi seperti: tipe Asiatis, tipe peralihan, dan tipe Australis.

        


         2.7 Problem Pendidikan Multikultural di Indonesia
Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh negara lain.
Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem pendidikan multikultural di Indonesia. Problem pendidikan multikultural di Indonesia secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu : problem kemasyarakatan pendidikan multikultural dan problem pembelajaran pendidikan multikultural.

1.      Problem Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural Di Indonesia
Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap menekankan kesatuan daripada keragaman. Bertolak dari kenyataan ini, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Tetapi, dalam implementasinya pendidikan multikultural berhadapan dengan beragam problem di masyarakat, yang menghambat penerapan pendidikan multikultural di dalam ranah pendidikan. Problem-problem tersebut antara lain :
a.    Keragaman identitas budaya daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka-budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecembururuan sosial. Masalah ini muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain justru dapat menjadi konflik dan menghambat proses pendidikan multikultural.
 Dalam mengantisipasi hal ini, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui pendidikan multikultural. Dengan adanya pendidikan multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa saling mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.

b.    Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan para beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Salah satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuatan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi.

Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Oleh karena itu, pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang urgen untuk mengurai pandangan-pandangan yang sempit mengenai isu kedaerahan sehingga timbul toleransi dan harmonisasi.

          c.    Kurang kokohnya nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluraritas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara berfungsi sebagai integrating force.
Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak.
 Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang perlu dikembangkan.
Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persusif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peraran Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yag dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat menjadi jalan untuk memperkokoh nasionalisme dalam koridor keragaman bangsa yang majemuk ini.

           d.   Fanatisme sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap bahwa kelompoknya yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi.
Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di masyarakat. Gejala bonek (bondo nekat) di kalangan supporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini tidak sehat. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah) maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. Di sini pendidikan multikultural memiliki peran yang penting sebagai wahana peredam fanatisme sempit. Karena di dalam pendidikan multikultural terkandung ajaran untuk menghargai seseorang atau kelompok lain walaupun berbeda suku, agama, rasa atau golongan.

          e.    Konflik kesatuan nasional dan multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, bangsa Indonesia pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerahan kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipasti terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa.
            Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Oleh karena itu pendidikan multikultural diharapkan dapat menjembatani berbagai perbedaan ini agar tidak terjadi benturan antara kesatuan nasional dan multikultural.  

          f.     Kesejahteraan ekonomi yang tidak merata di antara kelompok budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa tahun yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
          
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi mendera mereka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Jadi, adanya tekanan ekonomi memaksa orang untuk bertindak destruktif. Berangkat dari hal ini, pendidikan multikultural diharapkan dapat mendidik seseorang untuk berperilaku menurut aturan yang berlaku. Selain itu, pendidikan multikultural diharapkan dapat mengajarkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai di masyarakat karena di masyarakat terdiri dari beragam lapisan, seperti si kaya dan si miskin atau golongan borjuis dan proletar. Untuk itu pendidikan multikultural perlu diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain, tidak peduli dari lapisan mana seseorang itu berasal.

          2.    Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan ternyata tidak terlepas dari berbagai problem yang menghambatnya. Selain problem kemasyarakatan, pendidikan multikultural juga tidak lepas dari problem dalam proses pembelajarannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran berbasis budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif, dan sadar budaya. Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.

Beberapa permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya (multikultural) pada tahap persiapan awal, antara lain :
Ø  Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik.
Ø  Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya.
Ø  Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman belajar yang diperoleh.
Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam, antara lain :

      a.    Masalah seleksi dan integrasi isi (content selection and integration) mata pelajaran
Implementasi pendidikan mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi dan integrasi isi mata pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa ketidakmampuan guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran. Selain itu masih banyak guru yang belum dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi peserta didik.
Untuk mengatasi problem di atas, guru harus memiliki pengetahuan budaya yang memadai. selain itu diperlukan sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih metode atau materi pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi tentang perbedaan etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan sentuhan warisan budaya sehingga dapat memotivasi peserta didik mendalami akar budayanya sendiri dan akan menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga dapat menggunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas.
b.  Masalah “proses mengkonstrusikan pengetahuan” (the knowledge construction process)
Selain masalah seleksi dan integrasi isi mata pelajaran, masalah proses mengkonstruksi sebuah pengetahuan dapat menjadi problem bagi pendidikan mutikultural.

Jika peserta didik terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan dapat memunculkan kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan yang berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali muncul kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang dapat dipilih untuk membantu peserta didik memahami konsep kunci secara tepat.
Selain itu, guru juga masih banyak yang belum dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya dari perspektif ilmiah. Hal ini terkait kurangnya pengetahuan dari guru tentang keragaman budaya.

Problem lain yang dapat muncul adalah munculnya bias dalam mengembangkan perspektif multikultur untuk mengkonstruksi pengetahuan. Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya diskriminasi dalam pemberian materi pelajaran sehingga hanya memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang menjadi pokok bahasan pembelajaran.

c.    Masalah mengurangi prasangka (prejudice reduction)
Salah satu masalah lain yang muncul dalam pembelajaran mutikultural adalah adanya prasangka dari peserta didik terhadap guru bahwa guru tertentu cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. Selain itu, guru belum dapat mengusahakan kerjasama (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah kebersamaan. Oleh karena itu guru harus mengusahakan bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka  bahwa guru cenderung mengutamakan budaya tertentu. Contoh, jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa).
Dengan mengambil contoh yang sepadan, guru dapat menghindari prasangka bahwa dia mengutamakan unsur budaya tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.


d.   Masalah kesetaraan paedagogi (equity paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu. Misalnya jika menerangkan tentang kesenian teater, guru dapat menyebutkan dan mengidentifikasi beragam kesenian dari berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta).
Konklusinya, penerapan pendidikan mutikultural di Indonesia masih mengalami berbagai problem atau masalah, yang dapat diidentifikasi menjadi dua problem utama yaitu problem kemasyarakatan dan problem pembelajaran pendidikan mutikultural.

2.8 Tantangan dalam pendidikan multikultural
Pendidikan multikultural masih dianggap terdapat banyak hal yang kontroversial. Salah satunya bahwa pendidikan multikultural itu bersifar  memecah belah, menumbuhkan rasa kesukuan yang berlebihan, menurunkan kebudayaan umum, munculnya Menara Babel, mengubah sejarah dan mengganggu kesatuan masyarakat atau pernyataan bahwa pendidikan multikultural tidak sesui dengan jiwa nasionalisme.

1.    Implementasi Pendidikan Multikultural

Dalam pembahasan pendidikan multikultural di Asia Tenggara perlu diingat bahwa penerapannya tergantung pada kondisi sejarah dan sosial, ekonomi dan politiknya yang unik. Para pemimpin pemerintahan kurang memajukan tujuan-tujuan pendidikan multikultural seperti penerapan semua perbedaan, demokrasi, keikutsertaan dalam politik, otonomi, dan penghilangan diskriminasi, meskipun tujuan-tujuan tersebut dirasakan menjadi ancaman bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik negara.
Memperhatikan dari kajian yang telah ada, implemetasi pendidikan multikultural setidaknya membutuhkan reformasi dari seluruh sistem pendidikan yang ada. Bannet menyatakan bahwa karakteristik berbeda dari kurikulum multikultural juga harus memuat artikulasi konsep nilai utamanya yang disebut dengan nilai dan tujuan yang global dan multikultural.Selain itu,
dibutuhkan juga adanya komponen sekolah multikultural yang terdiri dari peraturan multikultural, staf sekolah yang secara kebudayaan berbeda, perilaku dan harapan staf yang positif, strategi pengajaran dan materi pengajaran pengajaran yang tepat, keterlibatan orang tua, dan monitoring yang terus menerus.
Untuk dapat menguasai kualifikasi multikultural yang ideal semacam itu, para pendidik perlu untuk dilatih dalam institusi yang relefan; yang juga dibutuhkan oleh para pelaksana bidang pendidikan dan penulis buku teks serta materi pengajaran lainnya. Kenyataan bahwa upaya pengenalan pendidikan multikultural merupakan hal yang sangat mahal, untuk menjadi efektif hal ini membutuhkan banyak dana dan sumber daya yang mana kebanyakan dari negara-negara Asia Tenggara tidak sanggup untuk mencukupinya.
Terdapat halangan dalam penerapan pendidikan multikultural, diantanya bahwa tujuan yang hendak dicapai acapkali dibelokkan oleh pemegang kekuasaan suatu negara, dikarenakan adanya ketakutan akan membahayakan ideologi ataupun dalam hal keuntungan material. Selain itu, acapkali muncul permasalahan komunikasi seperti peraturan pendidikan yang baru sering disalahartikan atau kurang dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Permasalahan lain terdapat pada bahwa kurikulum yang ada jarang dilakukan proses evaluasi dan monitoring yang terus-menerus dan teliti.

Dengan adanya permasalahan di atas dan dorongan agar tidak terjadi kesalahan penerapan kurikulum baru, maka kurikulum rancangan dari institusi pendidikan Indonesia telah berulang mengubah kurikulum utamanya setelah terjadi perubahan rezim kekuasaan.

2.      Dasar Multikultural bagi Masyarakat Indonesia

Dengan jumlah populasi sekira 226 juta di dalamnya terdapat 300 kelompok etnis dan bahasa yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai masyarakat multikultural danœnegara kepulauan terbesar di dunia. Dari jumlah tersebut, terdapat 14 kelompok etnis utama dan 4 agama dunia. Keragaman itu juga muncul dalam hal masyarakat pedesaan tradisional, masyarakat pantai dan suku berdampingan dengan masyarakat metropolis yang juga terdiri dari orang-orang berorientasi pada kebudayaan modern atau pos-modern. Perpindahan penduduk, perdagangan dan pariwisata internasional, pertukaran kebudayaan dengan kelompok etnis dan agama lain, dll., juga makin menambah nilai multikultural yang terkadang berujung pada ancaman ekonomi, perpecahan politik dan sosial, kompetisi dan bahkan konflik berdarah.

3.      Situasi Pasca Era-Soeharto

Colombijn dan Lindblad (2002) menyebut Indonesia sebagai negara kekerasan yang berdasarkan pada observasinya, Indonesia benar-benar telah mengalami tingkat kekerasan yang parah akhir-akhir ini. Pemberian hak otonomi pada kotamadya atau kabupaten semenjak tahun 2000 juga menjadi sumber perpecahan horizontal. Dan pengembangan daerah pemerintahan baru semakin menebalkan rasa primordialisme masyarakat akan daerah atau propinsinya  yang pada akhirnya akan melemahkan integrasi bangsa dan negara Indonesia.

4.      Situasi Pendidikan Sekarang

Faktor Luar yang Mempengaruhi

Semenjak kemerdekaan Indonesia telah terjadi berulang kali perubahan kurikulum, bukan hanya karena perubahan rezim pemerintahan namun juga karena perubahan kabinet. Selain itu birokrasi dan pemerintahan cenderung menjalankan otoritas untuk menentukan arah kurikulum sehingga sistem sekolah tidak mempunyai pilihan kecuali menuruti tekanan eksternal tersebut.
Setelah kerusuhan 1998, muncul organisasi yang berupaya mengajukan topik yang berkaitan dengan kepentingan guru dan siswa di sekolah, seperti pendidikan perdamaian, pendidikan demokrasi, pendidikan gender, serta pencegahan dan penindakan penyalahgunaan obat dan HIV/AIDS.

Situasi Sekarang

Meskipun adanya kesamaan dalam sekolah yang ada di seluruh pelosok negeri dari segi kesamaan sentralisasi, kurikulum top-down, sekolah di Indonesia sangat beragam dalam hal etnis, agama, jenis kelamin, serta komposisi kelas sosial siswa dan staf pengajar. Sekolah di pedesaan akan menemui permaslahan yang berbeda dari sekolah yang ada di perkotaan, demikian juga sekolah yang ada di daerah konflik.
Saifudin (2002) dalam kajiannya memberikan alasan lain yang menjadi halangan penerapan pendidikan multikultural di Indonesia, diantanya: siswa yang bekerja paruh waktu, guru yang punya pekerjaan sambilan, metode pengajaran satu arah yang menekankan pada pengingatan, dan birokrasi sekolah yang berorientasi pada materi dan bantuan keuangan dari badan proyek pengembangan sekolah.

5.      Kurikulum Sekolah Usia Dini, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah

Ketika diadakan evaluasi pada buku teks sekolah, rancangan materi dan juga butir-butir pada soal ujian nasional, ditemukan banyak indikasi yang mengarah pada pentingnya pendidikan multikultural. Isi dari materi itu seringkali menunjukkan adanya bias dalam etnis, agama, dan gender dari sisi penulis. Seperti, seringkali kita mendapati bias agama dan etnis pada pemilihan nama dalam teks dan ilustrasi, bias gender dalam hal gambaran peranan masing-masing gender, dan bias perkotaan dan pedesaan dalam penggambaran kejadian, tempat, dan organisasi.
Mengingat hal itu, kemudian para penulis telah menunjukkan perhatiannya pada perbedaan masyarakat. Meskipun mereka telah menyebutkan toleransi antar-agama dalam materinya, secara keseluruhan masih dirasakan terbatas pada pengetahuan tentang nama, kejadian, peranan dll. yang oleh Derman-Sparks menyebutnya  multikultural wisata dan Bank menyebutnya pendekatan kontribusi. Pendekatan kontribusi ini fokus pada pahlawan, hari libur, dan elemen budaya yang berbeda.

6.      Kurikulum di Pendidikan Tinggi

Pengajaran keragaman kebudayaan di pendidikan tinggi jauh lebih kompleks (Sunarto, 2002). Meskipun pendekatan pengajaran tradisional yang ada mampu meningkatkan keterampilan kognitif, hal ini tidak mampu mencukupi bahwa kebutuhan untuk mengetahui dan memahami informasi yang detail mengenai kelompok yang berbeda akan berujung pada hasil afeksi dan psikomotor seperti berkurangnya diskriminasi, prasangka, dan penggambaran terhadap anggota kelompok lainnya. Ada satu hal untuk mengembangkan pengetahuan dan kesadaran akan persamaan manusia dan yang lainnya untuk menumbuhkan empati. Pengetahuan itu perlu namun bukanlah unsur yang cukup(Bennett, 1999:287).

7.        Ketertarikan pada Pendidikan Multikultural

Di tengah perkembangan sosial dan politik yg di dalamnya masih berkaitan dengan manajemen konflik yang beragam dan aktifitas resolusi konflik,
mulai nampak adanya ketertarikan pada pendidikan multikultural. Konsep ini menarik hati para pelajar, pendidik, birokrat, dan LSM untuk membahasnya adalam seminar, perkuliahan, dan lokakarya.
Amandemen pada Undang-Undang Dasar sejak 1999 telah dihasilkan pengenalan dalam beberapa ayat yang menjadi pondasi dasar untuk implementasi pendidikan multikultural. Undang-undang Dasar sekarang ini terdapat sebuah pasal tentang hak asasi manusia yang terdiri dari 10 ayat yang menjamin hak perlindungan kebebasan dari ancaman diskriminasi untuk alasan apapun, dan penghormatan atas identitas kebudayaan dan hukum masyarakat tradisional.

8.    Perubahan Kurikulum Nasional dan Pendidikan Multikultural Mendatang

Di tahun 2004 diberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi di semua sekolah anak usia dini, dasar dan menengah di seluruh Indonesia. Evaluasi isi dari kurikulum ini mengindikasikan bahwa porsi yang signifikan dari materi pengetahuan sosial akan dicurahkan pada dasar multikultural masyarakat Indonesia. Pusat Kurikulum (Puskur) menyatakan bahwa  pendidikan multikultural menjadi prinsip dalam pengembangan kurikulum ini.
Salah satu kompetensi sosial yang diharapkan adalah  untuk menilai perbedaan sosiobudaya dalam kehidupan sosial. Dalam rancangan materi yang ada di sekolah menengah atas, kata multikultural secara eksplisit disebutkan; siswa diharapkan untuk  melakukan investigasi berkaitan dengan bentuk suatu masyarakat multikultural, untuk menunjukkan hasil investigasi berkaitan dengan bentuk suatu masyarakat multikultural, untuk menunjukkan sikap dan perilaku yang diharapkan dari anggota suatu masyarakat multikultural.

9.    Pendidikan Multilingual

Nampak tidak ada kesusahan ketika siswa masuk ke dunia sekolah harus menggunakan bahasa standar (Bahasa Indonesia) sebagai bahasa pengantar pengjaran yang berbeda dengan bahasa keseharian mereka. Oleh karena itu masih dirasa kurang perlu adanya pendidikan untuk kelompok yang berbeda secara budaya  ataupun  pendidikan dengan penyesuaian dan ketentuan khusus demi kebutuhan kebudayaan minoritas.
Namun acapkali masih ditemukan permasalahan ketika siswa dan guru berasal dari latar belakang sosial atau budaya yang berbeda; dan juga permasalahan dari kebudayaan asli (perbedaan dalam penggunaan bahasa, intonasi, interpretasi makna suatu kata.)
Keefektifan pendidikan multikultural di sekolah bergantung pada beberapa faktor; diantaranya:

Dukungan Keuangan

Tantangan paling utama untuk pelaksanaan pendidikan multikultural secara nasional adalah dibutuhkannya dukungan finansial yang memadai. Persaingan untuk mendapatkan akses pada sumber daya pendidikan yang sangat terbatas dihadapi oleh seluruh tingkatan dari kementerian hingga sekolah.

 

Sosialisasi untuk Pendidik dan Penyelenggara Pendidikan

Tantangan utama selanjutnya adalah bahwa proses sosialisasinya perlu melibatkan seluruh pihak berkepentingan yang relefan pada tingkat makro, meso, hingga mikro di semua sistem pendidikan. Lebih diperparah dengan adanya pemahaman yang kurang, terlalu luasnya interpretasi makna, dan resistensi dari pihak yang berkepentingan.
Dukungan semua pihak sangat diperlukan. Perlu adanya pelatihan bagi para guru guna membiasakan siswanya dengan strategi pendidikan multikultural. Sumber materi pengajaran harus bebas dari adanya bias, sehingga menuntut para penulis buku teks untuk memahami dan mengadopsi perspektif multikultural. Perlu dimiliki juga perilaku dan keterampilan multikultural yang dibutuhkan untuk kesuksesan implementasi kurikulum yang mana guru diberikan rancangan/kerangka materi dan sillabus namun harus mengembangkan sebuah materinya sendiri sesuai dengan kreatifitas dan inovasinya serta menggunakan buku teks pemerintah maupun bukan sebagai referensi materi.

Kurikulum Multikultural

Meskipun terdapat perencanaan untuk saling menghubungkan dan mengintegrasikan materi pelajaran, akan tetapi kurikulum yang baru ini belum menyiratkan adanya inklusifisme secara multikultural.
Dalam kurikulum yang inklusif, topik dan pemikira yang berkaitan dengan multikultural tidak dibatasi pada rancangan materi pelajaran tertentu, namun dimasukkan ke seluruh kurikulum.
Idealnya, pendidikan multikultural yang inklusif tidak hanya terbatas pada kurkulum formal akan tetapi harus ditanamkan dalam keseluruhan kebudayaan sekolah. Possidento (1980) menyebutnya sebagai kurikulum tersembunyi tidaklah akademis akan tetapi mempunyai konsekuensi penting untuk pendidikan di sekolah yang terjadi secara sistematis namun tidak dibuat ekplisit pada tingkat rasional publik bagi pendidikan.

 


Perbedaan Sosial dan Budaya

Perbedaan dalam akses ke sekolah, mendapatkan pendidikan, dan pencapaian pendidikan berkaitan dengan kelas sosial, gender, dan tempat tinggal, meskipun adanya hubungan yang mungkin dengan etnis dan agama tertentu tidak perlu untuk diteliti lebih lanjut. Peraturan multikultural berdasarkan pada keadaan historis masing-masing negara. Oleh karena itu dimensi penghilangan prasangka terhadap pendidikan multikultural perlu ditingkatkan; Bank (2002) menunjukkan bagaimana sikap dan perilaku diskriminasi terhadap anggota kelompok yang lain dan bagaimana sikap dan perilaku tersebut dapat diubah melalui penggunaan metode dan materi pengajaran.

Keterlibatan Pihak Lain yang Berkepentingan

Tibbs (2002) mengidentifikasikan kurangnya dukungan dari orang tua dan masyarakat sebagai tantangan yang penting, sehingga menuntut adanya program advokasi. Banyak organisasi kemasyarakatan telah memberikan dukungan terhadap aktifitas peningkatan perdamaian termasuk hal-hal yang berkaitan dengan isu multikultural; hal tersebut telah memberikan kontribusi yang berarti bagi pelatihan pendidik multikultural di masa mendatang.








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
pendidikan multikultural cukup berkaitan erat dengan budaya, dalam kata multikultural berarti kita membahas mengenai keanekaragaman kebudayaan yang ada di indonesia dan dapat di artikan sebagai pengakuan atas pluralisme budaya, oleh karena itu pendidikan multikultural cukup memberikan kita pengetahuan yang lebih luas bahwa budaya sangat bebrperan penting dalam pendidikan. Di zaman modern seperti ini masih terdapat pihak yang menilai pendidikan dari budaya yang selama ini berlaku di kalangan mereka.

Saran 
Di indonesia terdapat berbagai macam suku dan budaya, dan kemungkinan besar sebagian di antaranya menilai atau melihat pendidikan dari sisi budaya, di harapkan dalam pendidikan multikultural, penerus-penerus bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak terikat dengan sistem kebudayaan yang berlaku di kalangannya.















DAFTAR PUSTAKA
Gorski, Paul. 2001. Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, http/www. Edchange.org/multicultural, diakses tanggal 1 Juli 2011.
Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rajawali.
Tilaar, H.A.R.. 2004. Multikulturalisme; Tantangan-tantangan Global Masa Depan Dalam Trasformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo